Ibadah qurban merupakan salah satu ritual penting dalam Islam, dilaksanakan setiap Hari Raya Idul Adha sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT. Seiring perkembangan zaman, muncul berbagai metode pelaksanaan, salah satunya adalah melalui sistem arisan. Fenomena hukum qurban arisan ini sering menjadi perdebatan di kalangan umat Islam karena melibatkan unsur kesepakatan dan pengumpulan dana di muka.
Definisi dan Mekanisme Qurban Arisan
Qurban arisan adalah skema di mana sekelompok individu (misalnya 7 orang untuk sapi, atau secara kolektif untuk kambing) sepakat untuk mengumpulkan dana secara rutin dalam jangka waktu tertentu melalui mekanisme arisan. Ketika giliran seseorang tiba, dana yang terkumpul digunakan untuk membeli hewan qurban atas nama orang tersebut pada tahun berjalan. Jika sistemnya berjalan secara bergiliran setiap tahun, maka setiap anggota akan mendapatkan giliran berqurban dalam periode tertentu.
Permasalahan utama yang muncul adalah bagaimana hukum akad ini dipandang dari perspektif syariat. Apakah arisan ini termasuk jual beli, hibah, ataukah akad yang sah untuk menunaikan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) berupa qurban?
Dasar Hukum Qurban
Secara umum, ibadah qurban adalah ibadah ritual yang menuntut kepemilikan penuh atas hewan qurban oleh orang yang berniat berqurban pada saat penyembelihan. Mayoritas ulama mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat bahwa qurban disyariatkan bagi yang mampu, dan pelaksanaannya harus dilakukan oleh pemilik hewan qurban itu sendiri atau diwakilkan dengan izin yang jelas.
Analisis Fiqih Hukum Qurban Arisan
Terkait hukum qurban arisan, terdapat dua pandangan utama yang berkembang berdasarkan ijtihad kontemporer:
1. Pandangan yang Membolehkan (dengan Catatan)
Sebagian ulama kontemporer cenderung membolehkan qurban arisan dengan syarat bahwa akad arisan tersebut murni sebagai bentuk kesepakatan untuk menabung kolektif, dan kepemilikan hewan qurban benar-benar jatuh kepada anggota yang sedang mendapatkan giliran pada saat akad pembelian dan penyembelihan dilakukan.
Intinya, uang yang diserahkan oleh anggota lain adalah bentuk tolong menolong (ta'awun) dalam mencapai tujuan ibadah, bukan sebagai akad jual beli hewan qurban di awal. Anggota yang belum mendapat giliran hanya menabung, dan ketika gilirannya tiba, dana tersebut baru digunakan untuk membeli dan menyembelih qurban atas namanya.
2. Pandangan yang Tidak Membolehkan (Mayoritas/Hati-hati)
Pandangan yang lebih hati-hati menyatakan bahwa qurban arisan tidak sah sebagai pelaksanaan qurban yang sempurna. Alasannya:
- Masalah Kepemilikan: Hewan qurban harus dimiliki oleh orang yang berqurban sebelum proses penyembelihan. Dalam arisan, ketika dana terkumpul, dana tersebut adalah milik bersama atau milik pihak pengelola, belum sepenuhnya menjadi milik individu yang sedang "beruntung" mendapatkan giliran, karena ia masih berkewajiban membayar pada putaran berikutnya.
- Unsur Gharar (Ketidakpastian): Meskipun akadnya arisan, jika sistemnya mengharuskan semua anggota membayar penuh sebelum melihat hewan disembelih atas nama mereka, terdapat unsur ketidakjelasan apakah qurban tersebut benar-benar dilaksanakan sesuai syaratnya.
- Tashrikh (Mengkhususkan): Qurban adalah ibadah yang tidak boleh dikaitkan dengan akad lain (seperti utang piutang atau jual beli) yang dapat mengurangi keikhlasan atau menodai kesempurnaan ibadah tersebut.
Dalam pandangan ini, skema arisan lebih tepat jika diperlakukan sebagai tabungan kolektif untuk tujuan sosial, namun pelaksanaan qurbannya harus dilakukan secara mandiri ketika dana sudah dimiliki penuh.
Solusi Fiqih yang Lebih Aman
Untuk menghindari keraguan mengenai hukum qurban arisan, umat Islam dianjurkan untuk memilih skema yang lebih jelas secara syariat:
Pertama, Pelaksanaan Qurban Secara Mandiri:
Setiap Muslim yang mampu membeli hewan qurban sendiri sesuai kemampuannya pada Hari Raya Idul Adha. Ini adalah cara paling utama dan terjamin keabsahannya.Kedua, Qurban Patungan yang Sah:
Jika ingin berqurban sapi (yang boleh patungan tujuh orang), kesepakatan harus dilakukan sebelum pembelian, di mana setiap pihak langsung menyetorkan dana qurban mereka tanpa mekanisme menabung melalui arisan. Skema ini harus terikat pada niat qurban dari awal.Ketiga, Arisan untuk Dana Sosial Biasa:
Jika anggota tetap ingin melakukan arisan, sebaiknya arisan tersebut diniatkan sebagai tabungan untuk kebutuhan umum (misalnya biaya pendidikan atau dana sosial lainnya), bukan dikhususkan secara ketat sebagai sarana wajib pelaksanaan qurban. Jika di akhir periode arisan, anggota yang mendapat giliran memutuskan menggunakan dananya untuk qurban, maka itu sah karena ia telah memiliki penuh dana tersebut.Kesimpulan
Meskipun niat di balik hukum qurban arisan seringkali baik, yaitu untuk memudahkan banyak orang ikut serta dalam ibadah qurban, mayoritas ulama menganjurkan kehati-hatian. Kerumitan dalam menetapkan kepemilikan dana secara spesifik pada saat penyembelihan membuat pelaksanaan qurban melalui skema arisan cenderung diperdebatkan keabsahannya. Sebaiknya, umat Islam memilih metode yang lebih eksplisit dan bebas dari unsur akad yang tidak sesuai dengan syarat sahnya ibadah qurban.