Meminta Diramal Tentang Rezeki: Sebuah Penentangan Terhadap Kemahakuasaan Allah
Kecemasan akan masa depan, khususnya perihal kecukupan materi dan kelancaran hidup, adalah fitrah manusiawi. Dari rasa khawatir inilah, lahir berbagai upaya untuk mencoba mengintip takdir, menerka apa yang akan terjadi esok hari. Salah satu jalan pintas yang seringkali ditempuh adalah dengan mendatangi peramal, dukun, atau ahli nujum. Dengan harapan mendapat secercah kepastian, seseorang rela menanyakan nasib rezekinya, peruntungan bisnisnya, hingga kapan ia akan meraih kekayaan. Namun, di balik tindakan yang tampak sepele ini, tersembunyi sebuah pelanggaran akidah yang sangat fundamental dalam ajaran Islam: sebuah penentangan langsung terhadap pengakuan akan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terangkum dalam Asmaul Husna.
Tindakan meminta diramal tentang rezeki sejatinya bukan sekadar bertanya, melainkan sebuah pernyataan keraguan. Keraguan terhadap siapa? Keraguan terhadap Dzat Yang Maha Memberi Rezeki, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, dan Yang Maha Berkuasa atas seluruh alam semesta. Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengapa praktik ini sangat bertentangan dengan esensi keimanan seorang Muslim, dengan menelusuri bagaimana ia merusak pemahaman kita terhadap Asmaul Husna.
Bagian 1: Memahami Konsep Rezeki dalam Bingkai Islam
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menyamakan persepsi tentang apa itu rezeki. Dalam pandangan Islam, rezeki adalah konsep yang jauh lebih luas daripada sekadar tumpukan uang, jabatan tinggi, atau properti mewah. Rezeki (الرزق) mencakup segala sesuatu yang bermanfaat bagi makhluk, baik bersifat materiil maupun non-materiil.
Makna Rezeki yang Holistik
Rezeki meliputi:
- Rezeki Materiil: Makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan harta benda lainnya.
- Rezeki Jasmani: Kesehatan fisik, kekuatan tubuh, panca indera yang berfungsi normal, dan umur yang bermanfaat.
- Rezeki Rohani: Iman, Islam, hidayah, ilmu yang bermanfaat, ketenangan jiwa (sakinah), rasa syukur, dan kesabaran.
- Rezeki Sosial: Pasangan yang shalih/shalihah, anak-anak yang berbakti, teman yang baik, tetangga yang rukun, dan lingkungan yang mendukung kebaikan.
Mempersempit makna rezeki hanya pada urusan finansial adalah sebuah kesalahan besar yang membuat seseorang mudah panik dan mencari jalan pintas yang diharamkan. Ketika kita memahami bahwa napas yang kita hirup setiap detik adalah rezeki, maka kita akan menyadari betapa luasnya karunia Allah.
Sumber Tunggal Rezeki: Allah Ar-Razzaq
Inilah titik sentral akidah Islam. Allah adalah satu-satunya sumber rezeki. Tidak ada satu makhluk pun di langit dan di bumi yang mampu menciptakan atau memberikan rezeki secara hakiki. Manusia, perusahaan, atau pemerintah hanyalah perantara. Keyakinan ini ditegaskan berkali-kali dalam Al-Qur'an.
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ
"Inna Allāha huwa ar-razzāqu żụl-quwwatil-matīn."
"Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (QS. Adz-Dzariyat: 58)
Ayat ini tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi keyakinan lain. Penggunaan kata "huwa" (Dia) setelah "inna Allaha" memberikan penekanan dan pembatasan, yang berarti "hanya Dia-lah" Sang Pemberi Rezeki, bukan yang lain. Nama-Nya, Ar-Razzaq, berarti Dzat yang terus-menerus dan berulang kali memberikan rezeki kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali.
Bagian 2: Praktik Peramalan dan Klaim Pengetahuan Ghaib
Peramalan, dalam terminologi syariat dikenal dengan istilah kahānah atau ‘irāfah, adalah praktik mengklaim mengetahui hal-hal yang ghaib (tersembunyi), baik di masa lalu maupun di masa depan, melalui metode-metode yang tidak berdasarkan wahyu ilahi. Bentuknya sangat beragam, dari yang tradisional hingga yang terkesan modern:
- Astrologi (Ilmu Nujum): Menghubungkan nasib seseorang dengan posisi bintang, zodiak, atau rasi bintang.
- Ramal Garis Tangan (Palmistry): Mengklaim bisa membaca karakter dan takdir dari garis-garis di telapak tangan.
- Kartu Tarot: Menggunakan kartu dengan simbol-simbol tertentu untuk menafsirkan masa depan.
- Numerologi: Mengaitkan angka-angka dari tanggal lahir atau nama dengan peruntungan seseorang.
- Ramalan dengan Media Air, Pasir, atau Biji Kopi.
Apapun metodenya, esensinya sama: sebuah klaim lancang untuk mengakses pengetahuan yang hanya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Pengetahuan tentang masa depan, termasuk detail rezeki seseorang, adalah bagian dari "kunci-kunci perkara ghaib" yang tidak diketahui oleh siapapun selain Allah.
وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَ
"Wa ‘indahụ mafātiḥul-gaibi lā ya’lamuhā illā huw."
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri." (QS. Al-An'am: 59)
Bagian 3: Titik Benturan Fatal: Peramalan vs. Tauhid
Inilah inti permasalahan. Ketika seseorang datang kepada peramal dan bertanya, "Bagaimana nasib rezeki saya tahun depan?", ia secara tidak sadar sedang melakukan beberapa pelanggaran tauhid yang sangat serius.
Menyekutukan Allah dalam Sifat-Nya (Syirik fil Asma' was Sifat)
Tauhid Asma' was Sifat adalah mengimani bahwa Allah memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang mulia, serta meyakini bahwa sifat-sifat tersebut sempurna dan tidak serupa dengan makhluk. Salah satu sifat Allah yang paling agung adalah Al-'Alim (Yang Maha Mengetahui) dan 'Alimul Ghaib wasy Syahadah (Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata).
Dengan bertanya dan memercayai peramal, seseorang telah memberikan sifat 'Alimul Ghaib (Mengetahui yang ghaib) kepada makhluk. Ia telah meyakini bahwa ada entitas lain selain Allah yang memiliki akses terhadap kunci-kunci masa depan. Ini adalah bentuk syirik (menyekutukan Allah), dosa terbesar yang tidak akan diampuni jika dibawa mati tanpa taubat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan sangat tegas:
"Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam." (HR. Muslim)
Hadis ini baru sebatas mendatangi dan bertanya. Konsekuensinya lebih berat jika sampai memercayai apa yang dikatakan peramal tersebut.
"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal lalu membenarkan apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam)." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan lainnya; dinilai shahih)
Mengapa hukumannya begitu berat? Karena dengan membenarkan ucapan peramal, ia telah mengingkari puluhan ayat Al-Qur'an yang menegaskan bahwa hanya Allah yang mengetahui perkara ghaib. Ia telah meruntuhkan pilar utama keimanannya.
Bagian 4: Asmaul Husna yang Dikhianati Saat Meminta Diramal
Tindakan meminta diramal tentang rezeki tidak hanya menodai satu atau dua nama Allah, tetapi merusak pemahaman terhadap serangkaian Asmaul Husna yang berkaitan langsung dengan kekuasaan, pengetahuan, dan kemurahan-Nya. Mari kita bedah satu per satu.
1. Ar-Razzaq (الرَّزَّاقُ) - Maha Pemberi Rezeki
Iman kepada Ar-Razzaq berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi rezeki. Rezeki setiap makhluk, dari semut terkecil di dasar bumi hingga paus terbesar di lautan, telah dijamin oleh-Nya. Datang kepada peramal untuk menanyakan rezeki adalah sebuah bentuk ketidaksopanan dan keraguan terhadap jaminan ini. Seolah-olah lisanul hal (keadaan) orang tersebut berkata, "Ya Allah, aku ragu dengan jaminan-Mu, aku butuh 'second opinion' dari peramal untuk memastikan rezekiku."
Ini adalah pengkhianatan terhadap keyakinan bahwa pintu rezeki ada di Tangan-Nya. Ia mencari kepastian dari ramalan bintang atau garis tangan, padahal kepastian sejati hanyalah dari Dzat yang menggenggam langit dan bumi. Ia lupa bahwa usaha (ikhtiar) hanyalah sebab, sedangkan yang menentukan hasilnya adalah Allah, Sang Musabbibul Asbab (Penyebab dari segala sebab).
2. Al-'Alim (الْعَلِيْمُ) - Maha Mengetahui
Inilah sifat yang paling telak dilanggar. Al-'Alim berarti pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, tanpa batas ruang dan waktu. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, apa yang akan terjadi, dan bahkan apa yang tidak terjadi seandainya terjadi bagaimana jadinya. Pengetahuan-Nya bersifat azali, abadi, dan absolut.
Peramal, di sisi lain, mengklaim pengetahuan serupa namun dengan sumber yang batil, seringkali dari bantuan jin atau sekadar tebakan yang dibungkus dengan istilah-istilah mistis. Memercayai klaim mereka adalah menyejajarkan "pengetahuan" spekulatif makhluk dengan ilmu Allah yang Maha Meliputi. Ini adalah sebuah pelecehan terhadap keagungan sifat Al-'Alim. Seharusnya, seorang hamba menyerahkan urusan masa depan kepada Yang Maha Mengetahuinya, bukan kepada makhluk yang bahkan tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya sendiri sedetik kemudian.
3. Al-Fattah (الْفَتَّاحُ) - Maha Pembuka (Rahmat dan Rezeki)
Nama Al-Fattah bermakna Dzat yang membuka segala pintu kebaikan, rahmat, dan rezeki bagi hamba-Nya. Jika Allah membuka, tak ada yang bisa menutup. Jika Allah menutup, tak ada yang bisa membuka.
مَّا يَفۡتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحۡمَةٖ فَلَا مُمۡسِكَ لَهَاۖ وَمَا يُمۡسِكۡ فَلَا مُرۡسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
"Mā yaftaḥillāhu lin-nāsi mir raḥmatin fa lā mumsika lahā, wa mā yumsik fa lā mursila lahụ mim ba’dih, wa huwal-‘azīzul-ḥakīm."
"Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Fathir: 2)
Orang yang pergi ke peramal seakan-akan mencari "kunci" lain untuk membuka pintu rezeki. Ia berpikir bahwa dengan mengetahui "waktu yang tepat" atau "arah keberuntungan" dari peramal, ia bisa membuka pintu rezekinya. Ia telah lupa bahwa Kunci yang asli hanya ada di Tangan Al-Fattah. Ia mengetuk pintu yang salah, pintu makhluk yang rapuh, dan mengabaikan Pintu Tuhan yang Maha Luas.
4. Al-Malik (الْمَلِكُ) - Maha Raja
Sebagai Al-Malik, Allah adalah Penguasa Mutlak. Kerajaan-Nya meliputi seluruh alam semesta. Tak ada satu peristiwa pun yang terjadi di luar kehendak dan kekuasaan-Nya. Nasib rezeki, hidup, dan mati ada dalam genggaman-Nya.
Memercayai ramalan berarti meyakini ada kekuatan lain yang ikut mengatur dan menentukan nasib manusia, entah itu kekuatan bintang, angka, atau entitas gaib lainnya. Ini secara langsung menantang kedaulatan Allah sebagai Al-Malik. Seolah-olah ada "parlemen" lain di alam semesta ini yang bisa mengintervensi keputusan Sang Raja. Keyakinan semacam ini merusak pondasi tauhid rububiyyah (keyakinan bahwa hanya Allah yang mencipta, mengatur, dan menguasai alam).
5. Al-Wakil (الْوَكِيْلُ) - Maha Pemelihara dan Tempat Bersandar
Iman kepada Al-Wakil melahirkan sikap tawakal, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha secara maksimal. Hati menjadi tenang karena bersandar kepada Dzat yang Paling Bisa Diandalkan, Yang Maha Kuat dan Maha Bijaksana. Tawakal adalah puncak dari ibadah hati.
Pergi ke peramal adalah antitesis dari tawakal. Ini adalah manifestasi dari kepanikan, kegelisahan, dan ketidakpercayaan kepada Al-Wakil. Hati orang tersebut tidak bersandar kepada Allah, melainkan menggantungkan harapannya pada ucapan seorang peramal. Ia mencari ketenangan di tempat yang salah. Ketenangan yang didapat dari ramalan (jika ramalannya baik) adalah ketenangan semu yang rapuh. Dan jika ramalannya buruk, ia akan diliputi kecemasan dan keputusasaan, yang juga merupakan penyakit hati yang berbahaya.
6. Al-Mughni (الْمُغْنِي) - Maha Memberi Kekayaan
Allah adalah Al-Mughni, Dzat yang memberikan kekayaan dan kecukupan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Kekayaan sejati adalah kekayaan hati (rasa cukup), dan kekayaan materi adalah anugerah dari-Nya. Mencari tahu "nomor togel yang akan keluar" atau "investasi yang pasti untung" melalui peramal adalah upaya mencari kekayaan dari selain Al-Mughni.
Ini adalah jalan pintas yang batil, mengabaikan proses yang disyariatkan yaitu bekerja keras (ikhtiar), berdoa, dan bertawakal. Orang tersebut ingin menjadi kaya dengan cara "meretas" sistem takdir, padahal takdir itu sendiri ada dalam kuasa Allah. Ia lupa bahwa keberkahan jauh lebih penting daripada jumlah. Harta yang didapat dari jalan yang haram atau didasari keyakinan syirik tidak akan pernah membawa ketenangan dan kebaikan.
Bagian 5: Dampak Buruk Peramalan dalam Kehidupan
Selain merupakan dosa besar, memercayai dan mendatangi peramal juga membawa dampak negatif yang nyata dalam kehidupan seseorang, baik secara spiritual, psikologis, maupun sosial.
- Merusak Akidah: Ini adalah dampak paling fatal. Ia dapat menyeret seseorang ke dalam jurang syirik akbar yang mengeluarkannya dari Islam.
- Menumbuhkan Sifat Malas dan Fatalisme: Jika diramal akan sukses, seseorang bisa menjadi sombong dan malas berusaha. Jika diramal akan gagal, ia bisa menjadi putus asa dan tidak mau berikhtiar, pasrah pada "takdir" versi peramal. Keduanya mematikan semangat kerja dan produktivitas.
- Membuka Pintu Penipuan: Dunia peramalan sangat rentan terhadap penipuan. Banyak orang kehilangan harta benda dalam jumlah besar karena janji-janji palsu dari para dukun dan peramal.
- Menyebabkan Kecemasan Kronis: Alih-alih mendapatkan ketenangan, seseorang justru seringkali terbelenggu oleh ramalan. Ia akan selalu cemas jika ramalan buruk belum terjadi, dan terus-menerus waspada secara berlebihan. Hidupnya menjadi tidak tenang.
- Merusak Logika dan Akal Sehat: Seseorang akan terbiasa mengambil keputusan berdasarkan ramalan yang tidak jelas dasarnya, bukan berdasarkan analisis data, fakta, dan musyawarah yang rasional.
Bagian 6: Jalan Lurus Menjemput Rezeki yang Berkah
Islam tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan solusi yang indah dan menenangkan. Jika pintu peramalan tertutup rapat, Allah membuka pintu-pintu lain yang jauh lebih mulia, pasti, dan berkah untuk menjemput rezeki. Inilah jalan yang seharusnya ditempuh seorang mukmin.
1. Doa: Senjata Utama Orang Beriman
Mengapa bertanya kepada makhluk yang lemah, jika kita bisa meminta langsung kepada Sang Pencipta yang Maha Kaya? Doa adalah dialog langsung antara hamba dengan Rabb-nya. Mintalah rezeki yang halal, luas, dan berkah. Mintalah di waktu-waktu mustajab. Jangan pernah meremehkan kekuatan doa.
2. Ikhtiar: Bekerja Keras dan Cerdas
Islam adalah agama yang sangat menghargai kerja keras. Langit tidak menurunkan hujan emas dan perak. Rezeki harus dijemput dengan usaha yang halal dan maksimal. Bekerjalah sesuai dengan keahlian, berdaganglah dengan jujur, dan teruslah belajar untuk meningkatkan kualitas diri.
3. Tawakal: Menyandarkan Hati Sepenuhnya
Setelah ikhtiar maksimal dan doa dipanjatkan, serahkan hasilnya kepada Allah. Inilah tawakal. Hati yang bertawakal akan selalu lapang, apapun hasilnya. Jika berhasil, ia bersyukur. Jika belum berhasil, ia bersabar dan introspeksi, karena ia yakin ada hikmah di balik ketetapan Allah.
4. Syukur: Kunci Penambah Nikmat
Syukuri setiap rezeki yang telah Allah berikan, sekecil apapun itu. Kesehatan, keluarga, keamanan, dan iman adalah rezeki agung yang sering terlupakan. Allah berjanji dalam firman-Nya:
لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡ
"La’in syakartum la’azīdannakum."
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim: 7)
5. Sedekah dan Silaturahmi: Pembuka Pintu Rezeki
Rasulullah mengajarkan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta, justru ia mengundang datangnya rezeki yang lebih banyak dan berkah. Begitu pula dengan menyambung tali silaturahmi. Banyak hadis yang mengaitkan silaturahmi dengan dipanjangkannya umur dan dilapangkannya rezeki.
6. Istighfar: Memohon Ampunan
Terkadang, dosa dan maksiat menjadi penghalang turunnya rezeki. Dengan memperbanyak istighfar (memohon ampunan), seorang hamba membersihkan dirinya dari penghalang-penghalang tersebut, sehingga pintu rahmat dan rezeki Allah kembali terbuka lebar untuknya.
Kesimpulan: Kembali Kepada Sang Sumber
Tindakan meminta diramal tentang rezeki adalah sebuah langkah mundur dari cahaya tauhid menuju kegelapan syirik. Ia adalah cerminan dari hati yang goyah, yang tidak sepenuhnya percaya pada jaminan, pengetahuan, kekuasaan, dan kemurahan Allah SWT. Ia secara langsung menodai kemuliaan Asmaul Husna seperti Ar-Razzaq, Al-'Alim, Al-Fattah, dan Al-Wakil.
Jalan Islam adalah jalan kepastian, ketenangan, dan kemuliaan. Kepastian itu ada pada janji Allah, bukan pada tebakan peramal. Ketenangan itu lahir dari tawakal, bukan dari ramalan yang semu. Dan kemuliaan itu terletak pada status kita sebagai hamba yang hanya bergantung dan meminta kepada Allah, Sang Raja Diraja, Penguasa alam semesta.
Maka, jika kecemasan akan rezeki menghampiri, jangan ketuk pintu peramal. Ketuklah pintu langit dengan sujud dan doa. Bekerjalah dengan segenap tenaga di bumi. Lalu, sandarkan hati sepenuhnya kepada Dzat yang di Tangan-Nya seluruh perbendaharaan langit dan bumi.