Representasi simbolis pemikir klasik Yunani.
Aristoteles, nama yang bergema sepanjang sejarah pemikiran Barat, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam filsafat, logika, biologi, etika, dan politik. Lahir di Stagira, Yunani, pengaruhnya sangat luas sehingga dunia akademis sering kali terbagi menjadi era pra-Aristoteles dan pasca-Aristoteles. Meskipun namanya begitu dikenal, sering kali muncul pertanyaan mengenai julukan atau nama lain Aristoteles yang melekat padanya dalam berbagai tradisi intelektual.
Sama seperti tokoh besar lainnya, sebutan alternatif atau julukan muncul karena penghormatan mendalam, konteks historis penerimaan karyanya, dan penerjemahan teks dari bahasa Yunani kuno ke bahasa Latin dan kemudian ke bahasa-bahasa modern. Sebutan-sebutan ini bukan sekadar variasi nama, melainkan penanda peran spesifiknya dalam disiplin ilmu tertentu.
Di antara sekian banyak julukan, yang paling terkenal dan paling universal di kalangan cendekiawan Abad Pertengahan, terutama dalam tradisi Islam dan kemudian Kristen Skolastik, adalah "Sang Guru". Dalam bahasa Arab, sebutan ini diterjemahkan sebagai "Al-Mu'allim Al-Awwal" (المعلم الأول), yang berarti Guru Pertama.
Julukan Al-Mu'allim Al-Awwal sangat penting untuk dipahami. Selama periode penerjemahan besar-besaran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab antara abad ke-8 hingga ke-10, karya-karya Aristoteles menjadi fondasi utama bagi pemikiran filosofis dan ilmiah Islam. Filosof muslim terkemuka seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina (Avicenna) sangat mengagumi sistem logika dan metafisika Aristoteles.
Mengapa "Pertama"? Sebutan ini menegaskan posisi Aristoteles sebagai sumber pengetahuan sistematik pertama yang komprehensif mengenai alam semesta, logika, dan etika, sebelum munculnya tokoh-tokoh besar lainnya di tradisi tersebut. Ia dianggap telah meletakkan dasar metodologis yang tak tertandingi pada masanya. Perlu dicatat bahwa dalam konteks yang sama, Plato sering disebut sebagai "Al-Mu'allim Al-Thani" (Guru Kedua), yang menggambarkan hubungan guru-murid dan penerusnya dalam aliran filsafat klasik.
Fenomena serupa terjadi di Eropa Barat pada Abad Pertengahan Tinggi. Ketika karya-karya Aristoteles mulai dipulihkan dan diterjemahkan secara ekstensif dari bahasa Arab dan Yunani ke bahasa Latin (terutama melalui upaya seperti yang dilakukan oleh Thomas Aquinas), ia dikenal secara singkat namun kuat sebagai "The Philosopher" (Sang Filsuf).
Jika seseorang di kalangan skolastik menyebut "The Philosopher" tanpa kualifikasi lebih lanjut, secara otomatis merujuk pada Aristoteles. Ini menunjukkan dominasi absolut pemikirannya dalam kurikulum universitas saat itu, meliputi logika (Organon), fisika, metafisika (yang dikenal sebagai 'Metafisika' karena diletakkan 'setelah' karya-karya fisika dalam katalog), dan etika. Dia adalah standar emas untuk penalaran rasional.
Meskipun bukan nama lain dalam arti julukan filosofis, penting juga untuk mengingat asal-usulnya yang sering disebut dalam konteks biografis. Ia dikenal sebagai Aristoteles dari Stagira (atau Stagirite). Stagira adalah kota kelahirannya di Chalkidiki. Penyebutan ini membantu membedakannya dari tokoh lain yang mungkin memiliki nama yang sama di zaman kuno dan menegaskan koneksi geografisnya dengan Makedonia.
Selain itu, perannya sebagai tutor pribadi bagi Alexander Agung sering menjadi sorotan. Meskipun ini adalah deskripsi perannya, koneksi ini memberikan bobot politik dan kultural yang luar biasa pada pemikirannya, memfasilitasi penyebaran ide-idenya ke seluruh dunia Helenistik.
Secara ringkas, nama lain Aristoteles yang paling signifikan mencerminkan bagaimana warisannya diterima dan diinternalisasi oleh berbagai peradaban. Dari "Al-Mu'allim Al-Awwal" di Timur yang menghargai fondasi logisnya, hingga "The Philosopher" di Barat yang menjadikannya otoritas tertinggi dalam sains dan metafisika Abad Pertengahan, Aristoteles tetaplah sosok sentral. Meskipun ia tidak pernah secara formal menyandang gelar tersebut, julukan-julukan ini adalah bukti abadi betapa mendalamnya jejak pemikiran sang filsuf Stagira dalam sejarah intelektual manusia. Pemikiran beliau tentang silogisme, kategori, dan teleologi terus dipelajari hingga hari ini.
Pemahaman terhadap sebutan-sebutan ini memberikan wawasan tidak hanya tentang Aristoteles sendiri, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan kuno ditransmisikan, dihormati, dan bahkan terkadang disakralkan oleh para pemikir generasi berikutnya. Pengaruhnya melampaui sekadar teks; ia membentuk cara berpikir.