Romo Mangunwijaya, atau sering disapa Romo Mangun, adalah seorang tokoh multidimensi di Indonesia. Selain dikenal sebagai budayawan, filsuf, dan teolog, warisan terbesarnya yang seringkali menjadi subjek kajian mendalam adalah kontribusinya dalam dunia arsitektur. Arsitektur Romo Mangun bukanlah sekadar tentang bata dan semen; ia adalah perwujudan nyata dari filosofi hidup, dialog antara tradisi Jawa, kebutuhan modern, dan spiritualitas Kristiani.
Arsitektur sebagai Dialog Kebudayaan
Pendekatan Romo Mangun terhadap desain sangat berbeda dengan tren modernisme murni yang mendominasi zamannya. Ia menolak konsep arsitektur yang steril dan terlepas dari konteks lokal. Bagi Romo Mangun, bangunan haruslah "berbicara" dengan lingkungannya, baik secara fisik maupun kultural. Filosofi ini mendorongnya untuk selalu mencari inspirasi dari bentuk-bentuk arsitektur tradisional Indonesia, terutama arsitektur Jawa seperti Joglo dan Limasan. Namun, ia tidak terpaku pada tiruan semata. Ia melakukan sintesis, mengambil semangat dan prinsip dasar ruang tradisional tersebut, lalu mengaplikasikannya pada bangunan kontemporer.
Salah satu prinsip utama yang dipegangnya adalah pentingnya orientasi spiritual dalam ruang. Bangunan harus mampu menjadi wadah bagi kegiatan manusia, termasuk kontemplasi dan ibadah. Hal ini terlihat jelas dalam karyanya, misalnya pada desain gereja atau rumah tinggal yang selalu memperhatikan sirkulasi udara alami, pencahayaan matahari, dan hubungan visual dengan alam sekitar. Ia percaya bahwa harmonisasi dengan alam adalah langkah awal menuju harmonisasi spiritual.
Penggunaan Material Lokal dan Kontekstual
Romo Mangun sangat menekankan penggunaan material yang bersumber dari konteks lokal. Ini bukan hanya soal efisiensi biaya, melainkan juga bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal dan keberlanjutan. Penggunaan batu kali, kayu jati, bambu, dan bata ekspos sering menjadi ciri khas karyanya. Material ini tidak hanya memberikan tekstur visual yang kaya, tetapi juga membantu bangunan "bernafas" sesuai iklim tropis Indonesia. Dengan material lokal, bangunan Romo Mangun terasa membumi, menyatu dengan lanskap, bukan mendominasi lanskap tersebut.
Dalam konteks pembangunan gereja, pendekatannya sangat revolusioner. Ia seringkali berhasil memadukan fungsi liturgi Katolik yang universal dengan kekayaan simbolisme arsitektur Jawa. Contohnya, desain atap yang menyerupai limasan atau penggunaan pendopo sebagai ruang komunal, menunjukkan kemampuannya untuk menciptakan tempat suci yang akrab bagi masyarakat Jawa tanpa kehilangan kekhususannya. Ini adalah upaya mendialogkan iman dengan akar budaya, yang ia yakini sebagai kunci keberhasilan inkulturasi.
Masa Depan Arsitektur Kontekstual
Meskipun Romo Mangun telah tiada, warisan pemikirannya tentang arsitektur terus relevan, terutama di era krisis iklim dan globalisasi yang cenderung menstandarisasi bangunan. Prinsip arsitektur kontekstualnya mengajarkan bahwa setiap bangunan harus menjawab pertanyaan: "Untuk siapa ini dibangun?" dan "Bagaimana bangunan ini menghormati tempatnya?". Ia mendorong para arsitek muda untuk tidak takut melihat ke belakang, mempelajari kekayaan warisan leluhur, namun juga berani melompat ke depan dengan solusi yang jujur dan etis.
Romo Mangun membuktikan bahwa arsitektur bukan sekadar seni membangun, tetapi seni merawat budaya dan menciptakan ruang hidup yang bermartabat. Pengaruhnya terasa dalam gerakan arsitektur yang kini lebih menghargai keberlanjutan, antropologi, dan humanisme, menjadikannya salah satu pemikir arsitektur paling penting di Asia Tenggara.