Thierry de Duve adalah salah satu pemikir seni kontemporer yang paling berpengaruh, dikenal karena upayanya yang gigih untuk menjembatani jurang antara teori seni formalis dan kritik seni yang berorientasi pada konteks sosial. Sebagai seorang sejarawan seni, kritikus, dan profesor yang lahir di Belgia, karyanya sering kali menantang asumsi dasar mengenai apa yang kita anggap sebagai 'seni' dan bagaimana kita seharusnya menilainya.
Salah satu kontribusi paling signifikan De Duve adalah analisisnya tentang warisan Duchamp dan bagaimana warisan ini memengaruhi seni modern dan kontemporer. Dalam karyanya, ia secara metodis mendekonstruksi cara kita memahami kategori estetika. Ia berargumen bahwa seni, khususnya seni setelah Marcel Duchamp, tidak lagi bisa dipertahankan hanya berdasarkan kriteria visual atau keahlian teknis semata. Sebaliknya, seni harus dipahami melalui kerangka institusional dan historis di mana ia beroperasi.
De Duve sangat dipengaruhi oleh pemikiran Kantian tentang penilaian estetika, namun ia memodifikasinya secara radikal. Ia memperkenalkan konsep 'estetika institusional', yang mirip dengan pemikiran Arthur Danto, di mana sebuah objek menjadi karya seni karena 'aura' atau pengakuan yang diberikan kepadanya oleh dunia seni—galeri, museum, kritikus, dan akademisi. Namun, De Duve tidak berhenti di sana. Ia menekankan perlunya untuk tetap kritis terhadap institusi-institusi ini, bukan hanya menerimanya secara pasif. Seni yang baik, menurut pandangannya, adalah seni yang berhasil menantang definisi-definisi yang diberikan oleh institusi itu sendiri.
Dalam bukunya yang terkenal, Kant After the Duchamp, ia mengulas kembali pemikiran Immanuel Kant tentang penilaian ('judgement') dan menerapkannya pada tantangan yang diajukan oleh readymade Duchamp. Bagi De Duve, Duchamp membuktikan bahwa seni bukan lagi tentang keindahan, melainkan tentang membuat pernyataan. Pernyataan ini, yang sering kali bersifat paradoks, memaksa penonton untuk bergulat dengan pertanyaan: Mengapa ini dianggap seni dan yang lain tidak?
Kritik seni, dalam pandangan Thierry de Duve, memegang peran yang jauh lebih penting daripada sekadar memberikan interpretasi atau pujian. Kritik harus menjadi praktik aktif yang menyusun konteks agar seni dapat dipahami, tetapi juga harus berfungsi sebagai penjaga gerbang yang waspada. Kritik yang baik harus mampu mengidentifikasi kapan sebuah karya seni hanya mengulang klise konseptual yang telah mapan, dan kapan ia benar-benar mendorong batas pemahaman kita tentang seni.
Ia sering mengkritik kecenderungan dalam kritik seni kontemporer untuk terlalu mengagungkan ambiguitas atau ironi tanpa substansi yang mendalam. Seni yang baik, menurut De Duve, harus melibatkan semacam 'kesungguhan' dalam eksplorasi formalnya, meskipun formalisme tersebut mungkin bersifat konseptual, bukan visual. Esai-esai De Duve sering kali menunjukkan kedalaman analisis formal yang mengingatkan pada tradisi formalis lama, namun selalu dibingkai oleh kesadaran akan sejarah dan politik seni.
Pengaruh Thierry de Duve terasa kuat dalam akademisi seni di Amerika Utara dan Eropa. Ia mendorong para sejarawan dan kritikus untuk meninggalkan narasi linier tentang perkembangan seni dan sebaliknya, melihat praktik seni sebagai serangkaian interogasi filosofis yang berkelanjutan. Pendekatannya yang sangat terstruktur, namun tetap terbuka terhadap perdebatan, telah membentuk banyak generasi mahasiswa pascasarjana yang tertarik pada teori kritis dan seni abad ke-20.
Secara keseluruhan, Thierry de Duve menawarkan sebuah peta jalan intelektual bagi siapa pun yang ingin memahami kompleksitas seni kontemporer. Ia menuntut kita untuk tidak pernah menerima objek seni begitu saja, tetapi selalu bertanya: Mengapa sekarang? Mengapa di sini? Dan apa yang dipertaruhkan dalam klaim bahwa objek ini adalah seni? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi inti dari warisan kritisnya.
Karyanya adalah pengingat bahwa bahkan seni yang paling abstrak atau paling sederhana sekalipun tetap terikat pada wacana yang lebih besar tentang nilai, institusi, dan bagaimana masyarakat kita memilih untuk melihat dan mendefinisikan realitas.