Menggali Makna Tiga Asas dan Nilai Fundamental Pancasila

Ilustrasi perisai dan bintang sebagai simbol pondasi dan sila pertama Pancasila.

Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, bukanlah sekadar serangkaian slogan atau simbol formal. Ia adalah kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang telah hidup dan berkembang dalam sanubari masyarakat Nusantara selama berabad-abad. Memahami Pancasila secara mendalam berarti menyelami jiwa bangsa, menelusuri akar filosofisnya, dan mengaplikasikan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sering kali, dalam diskusi mengenai penyederhanaan atau pemadatan esensi Pancasila, muncul konsep mengenai tiga asas utama yang menjadi pilar penyangganya. Konsep ini, yang berakar dari pemikiran para pendiri bangsa, serta kerangka nilai yang terkandung di dalamnya, menjadi kunci untuk membuka pemahaman yang lebih komprehensif.

Artikel ini akan mengupas secara tuntas mengenai konsep tiga asas Pancasila, baik dari perspektif historis maupun kerangka nilai modern yang terdiri dari nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Dengan pemahaman ini, kita dapat melihat Pancasila bukan sebagai doktrin yang kaku, melainkan sebagai sebuah sistem nilai yang dinamis, relevan, dan menjadi solusi atas berbagai tantangan zaman.

Jejak Historis: Konsep Trisila dalam Pidato Soekarno

Untuk memahami gagasan tiga asas, kita harus kembali ke momen krusial dalam sejarah perumusan dasar negara. Pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tepatnya pada tanggal 1 Juni, Bung Karno menyampaikan pidato fenomenalnya yang kemudian dikenal sebagai "Lahirnya Pancasila". Dalam pidato tersebut, beliau tidak hanya menawarkan lima prinsip dasar, tetapi juga memberikan alternatif jika kelima prinsip tersebut dirasa terlalu banyak.

Bung Karno mengusulkan pemadatan lima sila tersebut menjadi tiga sila, atau yang beliau sebut sebagai Trisila. Ini bukanlah upaya untuk menghilangkan esensi, melainkan untuk menemukan sari pati yang paling fundamental. Trisila yang diusulkan terdiri dari:

  1. Sosio-Nasionalisme
  2. Sosio-Demokrasi
  3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan

Ketiga asas ini merupakan hasil pemerasan dari lima sila awal. Mari kita bedah satu per satu untuk memahami kedalaman maknanya.

1. Sosio-Nasionalisme: Nasionalisme yang Berperikemanusiaan

Asas Sosio-Nasionalisme adalah sintesis atau perpaduan dari dua sila, yaitu Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme) dan Internasionalisme (Perikemanusiaan). Bung Karno menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit, chauvinistik, atau yang mengagungkan bangsanya sendiri sambil merendahkan bangsa lain. Nasionalisme semacam itu, menurut beliau, akan berbahaya dan berpotensi melahirkan imperialisme baru.

Sebaliknya, nasionalisme Indonesia haruslah tumbuh subur dalam taman sarinya internasionalisme. Artinya, rasa cinta tanah air dan bangsa harus diimbangi dengan kesadaran bahwa kita adalah bagian dari keluarga besar umat manusia. Kita mencintai bangsa kita, tetapi kita juga menghormati kedaulatan dan hak hidup bangsa-bangsa lain. Sosio-Nasionalisme mengajarkan bahwa solidaritas nasional harus berjalan seiring dengan solidaritas global.

"Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang menuju kepada persatuan dunia, kepada persaudaraan dunia," demikian kira-kira semangat yang ingin disampaikan Bung Karno.

Dalam konteks kekinian, asas Sosio-Nasionalisme sangat relevan. Di tengah arus globalisasi, identitas nasional sering kali terancam. Namun, Pancasila mengajarkan kita untuk menjadi bangsa yang kokoh pada akarnya tetapi tetap terbuka pada dunia. Kita bangga dengan budaya, bahasa, dan produk dalam negeri, tetapi kita juga aktif berpartisipasi dalam perdamaian dunia, menjalin kerja sama internasional, dan menunjukkan empati terhadap krisis kemanusiaan di belahan dunia lain. Asas ini adalah benteng melawan isolasionisme sempit di satu sisi, dan kehilangan jati diri di sisi lain.

2. Sosio-Demokrasi: Demokrasi Politik dan Ekonomi

Asas kedua, Sosio-Demokrasi, merupakan pemadatan dari sila Mufakat (Demokrasi) dan Kesejahteraan Sosial. Bung Karno melihat bahwa demokrasi yang hanya berfokus pada aspek politik—seperti kebebasan berpendapat dan hak memilih—tidak akan lengkap tanpa adanya keadilan ekonomi. Demokrasi model Barat, pada masa itu, dianggap sering kali hanya melahirkan kebebasan bagi kaum kapitalis untuk menindas kaum pekerja. Sebaliknya, sistem komunis mengorbankan kebebasan individu demi kesetaraan ekonomi yang dipaksakan.

Sosio-Demokrasi adalah jalan tengah yang ideal bagi Indonesia. Ia menginginkan sebuah sistem di mana rakyat tidak hanya berdaulat secara politik (melalui musyawarah untuk mufakat), tetapi juga berdaulat secara ekonomi. Kedaulatan politik berarti setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, kedaulatan ekonomi berarti tidak boleh ada penindasan manusia oleh manusia lain, atau apa yang disebut exploitation de l'homme par l'homme.

Prinsip ini mengamanatkan bahwa negara harus hadir untuk memastikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini adalah dasar dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang diimpikan oleh para pendiri bangsa. Demokrasi bukan hanya soal siapa menang pemilu, tetapi juga soal apakah rakyat sudah sejahtera, apakah kesenjangan sosial dapat dikurangi, dan apakah setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak.

3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan

Asas ketiga ini merupakan penegasan dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan penekanan khusus pada aspek kebudayaan dan toleransi. Bung Karno mengusulkan frasa "Ketuhanan Yang Berkebudayaan" untuk memastikan bahwa kehidupan beragama di Indonesia dijalankan dengan cara yang beradab, saling menghormati, dan tanpa paksaan. Negara Indonesia bukanlah negara agama (teokrasi) yang didasarkan pada satu syariat agama tertentu, tetapi juga bukan negara sekuler yang memisahkan total agama dari kehidupan publik.

Indonesia adalah negara yang berketuhanan, di mana setiap warganya dijamin kebebasannya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing serta untuk beribadah menurut agamanya itu. Kata "berkebudayaan" menyiratkan bahwa praktik keagamaan haruslah selaras dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa, seperti toleransi (tepa selira), gotong royong, dan musyawarah. Agama tidak boleh dijadikan alat untuk memecah belah, menebar kebencian, atau memaksakan kehendak kepada kelompok lain. Sebaliknya, nilai-nilai universal agama harus menjadi sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan beradab.

Konsep ini menunjukkan kebijaksanaan luar biasa dari para pendiri bangsa dalam merespons kemajemukan agama di Indonesia. Dengan asas ini, negara memposisikan diri sebagai pelindung semua umat beragama, fasilitator kerukunan, dan penjaga agar tidak ada kelompok mayoritas yang menindas minoritas, maupun sebaliknya.

Tiga Tingkatan Nilai Pancasila: Kerangka Implementasi Modern

Selain konsep Trisila yang bersifat historis, pemahaman "tiga asas" Pancasila dalam konteks modern sering merujuk pada tiga tingkatan nilai yang terkandung di dalamnya. Kerangka ini membantu kita memahami bagaimana Pancasila yang abstrak dapat diturunkan menjadi norma hukum dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Tiga tingkatan nilai tersebut adalah:

  1. Nilai Dasar
  2. Nilai Instrumental
  3. Nilai Praksis

Ketiga tingkatan ini saling berkaitan dan membentuk sebuah sistem yang utuh, dari ideologi fundamental hingga tindakan nyata.

1. Nilai Dasar: Hakikat Abadi Kelima Sila

Nilai Dasar adalah esensi atau hakikat dari kelima sila Pancasila yang bersifat universal, abadi, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai ini merupakan fondasi filosofis yang menjadi sumber dari segala norma hukum dan etika di Indonesia. Karena sifatnya yang abstrak dan fundamental, nilai dasar ini tidak dapat diubah, karena mengubahnya sama dengan membubarkan negara Indonesia itu sendiri. Mari kita telaah Nilai Dasar dari setiap sila.

a. Nilai Dasar Sila Pertama: Ketuhanan

Hakikat dari sila pertama adalah nilai ketuhanan. Ini adalah pengakuan bahwa keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai ini mengandung keyakinan akan adanya kekuatan supranatural yang menjadi sebab pertama dari segala sesuatu (causa prima). Namun, nilai ini tidak berhenti pada keyakinan personal. Ia juga melahirkan nilai-nilai turunan seperti ketaqwaan, yaitu menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Lebih dari itu, nilai ketuhanan dalam Pancasila melahirkan nilai toleransi beragama. Ia mengakui bahwa meskipun cara manusia menyembah Tuhan berbeda-beda, esensi tujuannya adalah sama. Oleh karena itu, tidak boleh ada paksaan dalam beragama dan harus ada sikap saling menghormati antarumat beragama untuk menciptakan kerukunan hidup.

b. Nilai Dasar Sila Kedua: Kemanusiaan

Hakikat dari sila kedua adalah nilai kemanusiaan. Nilai ini memandang bahwa setiap manusia memiliki harkat, martabat, hak, dan kewajiban yang sama tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Ini adalah pengakuan atas universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Nilai dasar ini menuntut adanya perlakuan yang adil dan beradab terhadap sesama manusia. Turunan dari nilai ini adalah persamaan derajat, saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa, dan keberanian untuk membela kebenaran dan keadilan. Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menolak segala bentuk penjajahan, penindasan, perbudakan, dan ketidakadilan yang merendahkan martabat manusia. Ini adalah fondasi etis bagi hubungan antarindividu dan antarbangsa.

c. Nilai Dasar Sila Ketiga: Persatuan

Hakikat dari sila ketiga adalah nilai persatuan. Nilai ini merupakan kesadaran bahwa meskipun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan budaya (Bhinneka Tunggal Ika), kita adalah satu kesatuan yang utuh, yaitu bangsa Indonesia. Persatuan ini bukan berarti penyeragaman, melainkan penghargaan terhadap perbedaan dalam sebuah ikatan kebangsaan yang kuat. Nilai dasar ini mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ia melahirkan sikap rela berkorban untuk tanah air, cinta tanah air (patriotisme), dan kebanggaan sebagai bagian dari Indonesia. Persatuan Indonesia adalah komitmen untuk menjaga keutuhan wilayah, kedaulatan negara, dan keharmonisan sosial di tengah keragaman.

d. Nilai Dasar Sila Keempat: Kerakyatan

Hakikat dari sila keempat adalah nilai kerakyatan atau kedaulatan rakyat. Ini adalah prinsip bahwa kekuasaan tertinggi di negara Indonesia berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan. Namun, demokrasi Pancasila memiliki ciri khas, yaitu melalui musyawarah untuk mufakat. Nilai dasar ini menekankan bahwa setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dilakukan dengan cara berdialog, bertukar pikiran, dan mencari jalan keluar terbaik yang disepakati bersama. Keputusan tidak didasarkan pada suara mayoritas yang menindas minoritas, tetapi pada kebijaksanaan yang lahir dari proses deliberatif. Nilai ini menuntut setiap warga negara untuk bertanggung jawab, menghargai pendapat orang lain, dan menerima serta melaksanakan hasil keputusan bersama dengan itikad baik.

e. Nilai Dasar Sila Kelima: Keadilan

Hakikat dari sila kelima adalah nilai keadilan sosial. Nilai ini bertujuan untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur secara merata, baik material maupun spiritual, bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan di sini mencakup berbagai dimensi: keadilan distributif (pembagian sumber daya yang merata), keadilan legal (persamaan di hadapan hukum), dan keadilan komutatif (keadilan dalam hubungan antarindividu). Nilai dasar ini menuntut adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, sikap adil terhadap sesama, menghormati hak orang lain, dan menjauhi sikap boros dan gaya hidup mewah. Keadilan sosial juga berarti memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengembangkan potensi dirinya dan bekerja keras sesuai kemampuannya, serta memastikan bahwa hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

2. Nilai Instrumental: Penjabaran dalam Peraturan

Jika nilai dasar bersifat abstrak, maka nilai instrumental adalah penjabarannya yang lebih konkret dan terukur. Nilai instrumental berfungsi sebagai arahan, kebijakan, strategi, serta lembaga pelaksananya. Wujud paling nyata dari nilai instrumental adalah peraturan perundang-undangan, mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah.

Tujuan dari nilai instrumental adalah untuk menerjemahkan nilai-nilai dasar Pancasila agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Contoh utama dari nilai instrumental adalah:

Nilai instrumental bersifat dinamis. Artinya, ia dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, selama tidak bertentangan dengan nilai dasar Pancasila. Misalnya, UU tentang teknologi informasi dibuat untuk merespons perkembangan digital, tetapi tetap harus didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.

3. Nilai Praksis: Aktualisasi dalam Kehidupan Nyata

Tingkatan terakhir dan terpenting adalah nilai praksis. Nilai ini merupakan realisasi dari nilai dasar dan nilai instrumental dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Inilah bukti nyata bahwa Pancasila hidup dan diamalkan (living ideology). Nilai praksis adalah ujian sesungguhnya dari pemahaman dan komitmen kita terhadap Pancasila.

Nilai praksis bersifat sangat konkret dan dapat kita temukan dalam sikap, tindakan, dan perilaku kita sehari-hari. Berikut adalah contoh-contoh nilai praksis untuk setiap sila:

a. Praktik Sila Pertama:

b. Praktik Sila Kedua:

c. Praktik Sila Ketiga:

d. Praktik Sila Keempat:

e. Praktik Sila Kelima:

Nilai praksis ini juga bersifat dinamis dan dapat berkembang sesuai dengan konteks zaman. Misalnya, di era digital, nilai praksis Pancasila juga mencakup bagaimana kita bersikap di media sosial: tidak menyebarkan hoaks (bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan persatuan), tidak melakukan ujaran kebencian (bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan), dan menggunakan internet untuk hal-hal yang produktif dan adil.

Kesimpulan: Sebuah Kesatuan Filosofis dan Praktis

Memahami Pancasila melalui lensa "tiga asas"—baik itu Trisila historis maupun tiga tingkatan nilai modern—memberikan kita gambaran yang utuh dan mendalam. Konsep Trisila (Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, Ketuhanan Yang Berkebudayaan) menunjukkan kepada kita sari pati pemikiran para pendiri bangsa yang visioner, yang mampu meramu ideologi yang seimbang antara kepentingan nasional dan kemanusiaan, antara demokrasi politik dan keadilan ekonomi, serta antara kehidupan beragama dan toleransi.

Sementara itu, kerangka Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Nilai Praksis memberikan kita peta jalan yang jelas tentang bagaimana ideologi besar ini bekerja. Dari nilai-nilai fundamental yang abadi (Nilai Dasar), diturunkan menjadi aturan main yang jelas dalam sistem ketatanegaraan (Nilai Instrumental), hingga akhirnya terwujud dalam setiap napas kehidupan kita sebagai warga negara (Nilai Praksis). Ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Pada akhirnya, Pancasila bukanlah sekadar hafalan atau teori. Ia adalah sebuah panggilan untuk bertindak. Panggilan untuk menjadi bangsa yang religius namun toleran, bangsa yang mencintai tanah airnya namun menghormati dunia, bangsa yang demokratis namun peduli pada kesejahteraan bersama. Dengan terus menggali, memahami, dan yang terpenting, mengamalkan nilai-nilai luhurnya, Pancasila akan senantiasa menjadi sumber kekuatan dan panduan bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi segala tantangan, kini dan di masa yang akan datang.

🏠 Homepage