Allah Maha Berkehendak: Samudera Takdir dan Pelabuhan Tawakal
Di jantung keimanan seorang muslim, bersemayam sebuah pilar keyakinan yang fundamental: pengakuan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, dari pergerakan galaksi terjauh hingga desiran daun yang jatuh, berada dalam genggaman Kehendak-Nya yang mutlak. Inilah esensi dari keyakinan bahwa Allah Maha Berkehendak. Konsep ini, yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai Iradah Allah, bukanlah sekadar doktrin teologis yang kaku, melainkan sebuah realitas hidup yang jika dipahami dengan benar, akan menjadi sumber ketenangan, kekuatan, dan optimisme yang tiada tara. Memahami sifat ini adalah kunci untuk membuka pintu kedamaian sejati, terutama di tengah dunia yang penuh dengan ketidakpastian.
Namun, bagaimana kita sebagai manusia dengan keterbatasan akal dapat menyelami lautan kehendak-Nya yang tak bertepi? Allah, dengan kasih sayang-Nya, memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama-Nya yang terindah, Asmaul Husna. Nama-nama ini bukanlah sekadar sebutan, melainkan jendela untuk memahami sifat-sifat-Nya yang agung. Melalui Asmaul Husna, kita dapat melihat berbagai dimensi dari kehendak-Nya. Kita akan menemukan bahwa kehendak-Nya tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan kebijaksanaan-Nya (Al-Hakiim), pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu (Al-'Aliim), kekuasaan-Nya yang tak terbatas (Al-Qadiir), dan kasih sayang-Nya yang melimpah (Ar-Rahmaan). Artikel ini akan mengajak kita untuk berlayar lebih dalam, mengarungi makna "Allah Maha Berkehendak" melalui cahaya Asmaul Husna, agar hati kita dapat berlabuh di dermaga tawakal yang kokoh dan jiwa kita menemukan ketenteraman dalam setiap ketetapan-Nya.
Membedah Makna Iradah: Dua Wajah Kehendak Allah
Untuk memahami secara utuh bagaimana Allah Maha Berkehendak, para ulama membagi konsep Iradah (Kehendak) Allah menjadi dua kategori yang saling melengkapi, namun memiliki implikasi yang berbeda. Pembagian ini bukan untuk membatasi kehendak-Nya, melainkan untuk membantu akal manusia menangkap keluasan dan kedalamannya. Kedua kategori tersebut adalah Iradah Kauniyah Qadariyah (Kehendak Universal terkait Takdir) dan Iradah Diniyyah Syar'iyyah (Kehendak Religius terkait Syariat).
1. Iradah Kauniyah: Ketetapan yang Pasti Terjadi
Iradah Kauniyah adalah kehendak Allah yang berkaitan dengan penciptaan, pengaturan, dan penentuan segala sesuatu di alam semesta. Kehendak ini bersifat mutlak dan pasti terjadi, tanpa terkecuali. Apapun yang Allah kehendaki untuk ada, maka ia akan ada. Apapun yang Dia kehendaki untuk tiada, maka ia akan tiada. Kehendak ini mencakup segala peristiwa, baik yang kita sukai maupun yang kita benci, baik yang kita anggap "baik" maupun yang kita anggap "buruk" dari sudut pandang kita yang terbatas.
Kelahiran seseorang, kematiannya, rezekinya, jodohnya, turunnya hujan, terjadinya gempa bumi, sehat dan sakit, kemenangan dan kekalahan—semua ini adalah manifestasi dari Iradah Kauniyah. Kehendak ini tidak selalu selaras dengan apa yang Allah cintai dan ridhai. Sebagai contoh, terjadinya kekufuran, kemaksiatan, atau kezaliman di muka bumi adalah bagian dari Iradah Kauniyah-Nya. Allah mengizinkan hal itu terjadi untuk sebuah hikmah yang agung, seperti untuk menguji hamba-hamba-Nya, membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta menunjukkan keadilan-Nya di akhirat kelak. Namun, izin terjadinya sesuatu bukan berarti Allah mencintai atau meridhai perbuatan itu sendiri. Dalil mengenai hal ini sangat jelas dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: 'Jadilah!' maka terjadilah ia." (QS. Yasin: 82)
Ayat ini menegaskan bahwa kehendak kreatif-Nya tidak memerlukan proses atau perantara; ia bersifat langsung dan tak terbantahkan. Memahami Iradah Kauniyah menumbuhkan dalam diri seorang hamba sikap pasrah dan menerima terhadap takdir yang telah ditetapkan, terutama dalam hal-hal yang berada di luar kendalinya. Ini adalah fondasi dari sikap sabar saat ditimpa musibah dan syukur saat mendapat nikmat.
2. Iradah Syar'iyyah: Kehendak yang Allah Cintai
Berbeda dengan Iradah Kauniyah, Iradah Syar'iyyah adalah kehendak Allah yang berkaitan dengan apa yang Dia cintai, ridhai, dan perintahkan kepada hamba-hamba-Nya. Kehendak ini termanifestasi dalam syariat-Nya: Al-Qur'an dan Sunnah. Semua perintah untuk beriman, bertaqwa, shalat, berpuasa, berbuat baik kepada sesama, berlaku adil, dan jujur adalah cerminan dari Iradah Syar'iyyah.
Sifat utama dari kehendak jenis ini adalah ia tidak selalu terjadi di alam nyata. Allah menghendaki seluruh manusia untuk beriman dan taat kepada-Nya, namun pada kenyataannya, banyak manusia yang memilih jalan kekufuran dan kemaksiatan. Mengapa? Karena Allah telah menganugerahkan manusia kehendak dan pilihan bebas (*ikhtiar*) sebagai bagian dari ujian kehidupan. Allah tidak memaksa hamba-Nya untuk taat. Pilihan untuk mengikuti atau menolak Iradah Syar'iyyah inilah yang akan menjadi dasar pertanggungjawaban di hari pembalasan.
Allah berfirman:
"...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (QS. Al-Baqarah: 185)
Ayat ini menunjukkan bahwa secara syariat, Allah menginginkan yang terbaik dan termudah bagi kita. Dia mencintai ketaatan dan membenci kemaksiatan. Jadi, ketika seorang hamba melakukan dosa, perbuatan itu terjadi atas izin Allah (Iradah Kauniyah), namun perbuatan itu sangat dibenci dan tidak dikehendaki oleh Allah dari sisi syariat (Iradah Syar'iyyah). Memahami perbedaan ini sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman fatal, seperti menyalahkan takdir atas dosa yang diperbuat. Seseorang tidak bisa berkata, "Saya berzina karena Allah menakdirkannya," sebab meskipun perbuatan itu terjadi dalam lingkup takdir-Nya, ia jelas-jelas melanggar kehendak syariat-Nya yang Dia cintai.
Dengan memahami kedua wajah kehendak ini, seorang muslim dapat menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ia bersabar dan ridha atas takdir (Iradah Kauniyah) yang menimpanya, sambil terus berjuang sekuat tenaga untuk merealisasikan apa yang Allah cintai (Iradah Syar'iyyah) dalam hidupnya. Keseimbangan inilah yang menciptakan pribadi muslim yang tangguh, optimis, dan senantiasa berada di jalan yang lurus.
Jendela Asmaul Husna: Melihat Kehendak Allah Lebih Dekat
Keagungan sifat Allah Maha Berkehendak terpancar lebih terang ketika kita merenungkannya melalui prisma Asmaul Husna lainnya. Setiap nama adalah sebuah atribut yang menjelaskan bagaimana kehendak-Nya bekerja. Kehendak-Nya bukanlah kehendak yang buta, acak, atau sewenang-wenang, melainkan kehendak yang diiringi oleh kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang lain.
Al-Muriid (المريد) - Yang Maha Berkehendak
Ini adalah nama yang secara langsung merujuk pada sifat kehendak. Al-Muriid berarti Dzat yang memiliki Iradah (kehendak) yang sempurna dan absolut. Tidak ada satu pun di langit dan di bumi yang dapat menghalangi atau menentang kehendak-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terwujud, dan apa yang tidak Dia kehendaki mustahil terwujud. Nama ini menegaskan kedaulatan penuh Allah atas seluruh ciptaan-Nya. Ketika seorang hamba menyadari bahwa Tuhannya adalah Al-Muriid, ia akan menambatkan hatinya hanya kepada-Nya, karena ia tahu bahwa sumber segala kekuatan dan keputusan hanyalah Allah semata. Ia tidak akan bergantung pada makhluk, karena makhluk itu sendiri berada di bawah kehendak Al-Muriid.
Dalam salah satu firman-Nya yang sering dikutip, Allah menegaskan realitas ini dengan sangat kuat:
فعال لما يريد"Allah Maha Melakukan apa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Buruj: 16)
Frasa "Fa'aalul limaa yuriid" ini adalah penegasan superlatif. Bukan hanya "melakukan", tapi "Maha Melakukan", menunjukkan bahwa pelaksanaan kehendak-Nya adalah sebuah keniscayaan yang absolut, tanpa halangan, tanpa penundaan, dan tanpa perlu bantuan dari siapapun.
Al-Qadiir (القدير) - Yang Maha Kuasa
Kehendak tanpa kekuasaan adalah angan-angan. Namun, kehendak Allah (Iradah) selalu bergandengan dengan kekuasaan-Nya (Qudrah). Allah adalah Al-Qadiir, Yang Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya tak terbatas dan meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu, setiap hal yang Dia kehendaki, Dia memiliki kuasa penuh untuk mewujudkannya. Ketika Allah berkehendak menciptakan alam semesta, kekuasaan-Nya yang tak terbataslah yang mewujudkannya dari ketiadaan. Ketika Dia berkehendak menolong seorang hamba yang berada di puncak kesulitan, kekuasaan-Nya mampu membuka jalan keluar dari arah yang tak terduga. Merenungkan nama Al-Qadiir bersamaan dengan Al-Muriid memberikan keyakinan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah. Doa seorang hamba, yang merupakan bentuk permohonan agar kehendak baik terjadi, menjadi lebih bermakna karena ia meminta kepada Dzat yang bukan hanya Berkehendak, tetapi juga Maha Kuasa untuk mengabulkannya.
Al-'Aliim (العليم) - Yang Maha Mengetahui
Kehendak Allah tidak didasari oleh keinginan sesaat atau ketidaktahuan. Sebaliknya, kehendak-Nya lahir dari ilmu-Nya yang sempurna dan azali. Allah adalah Al-'Aliim, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi, bahkan yang tidak akan terjadi sekalipun, Dia tahu bagaimana jika itu terjadi. Sebelum menetapkan suatu kehendak, Allah telah mengetahui dengan ilmu-Nya yang abadi segala akibat, hikmah, dan konsekuensi dari ketetapan tersebut. Oleh karena itu, setiap takdir yang berjalan adalah hasil dari sebuah "desain" yang didasarkan pada pengetahuan tak terbatas. Ketika kita ditimpa musibah yang tidak kita pahami, keyakinan bahwa itu adalah kehendak dari Dzat Yang Al-'Aliim menenangkan hati. Kita mungkin tidak tahu hikmahnya, tetapi kita yakin bahwa Dia Yang Maha Tahu pasti memiliki tujuan baik di baliknya.
"...dan bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
Al-Hakiim (الحكيم) - Yang Maha Bijaksana
Kehendak Allah tidak hanya berdasarkan ilmu, tetapi juga penuh dengan hikmah (kebijaksanaan). Allah adalah Al-Hakiim. Setiap ketetapan-Nya, setiap perintah dan larangan-Nya, mengandung kebijaksanaan yang sempurna, meskipun terkadang tersembunyi dari pandangan kita. Allah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang paling tepat, pada waktu yang paling tepat, dan dengan cara yang paling tepat. Musibah yang menimpa bisa jadi merupakan kehendak-Nya untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, atau mengingatkan seorang hamba yang lalai. Pemberian nikmat bisa jadi merupakan ujian syukur. Penundaan terkabulnya doa bisa jadi karena Allah, dengan kebijaksanaan-Nya, tahu bahwa waktu yang tepat belum tiba, atau Dia hendak menggantinya dengan yang lebih baik. Memandang kehendak Allah melalui lensa Al-Hakiim mengubah keluh kesah menjadi perenungan, dan mengubah kebingungan menjadi kepercayaan penuh pada skenario terbaik dari Sutradara Yang Maha Bijaksana.
Al-Khaaliq (الخالق), Al-Baari' (البارئ), Al-Mushawwir (المصور)
Trilogi nama penciptaan ini adalah manifestasi paling nyata dari kehendak Allah. Al-Khaaliq adalah Dzat yang menciptakan dari ketiadaan berdasarkan takdir yang telah ditentukan. Al-Baari' adalah Dzat yang mengadakan, melepaskan, dan memisahkan ciptaan-Nya satu sama lain. Al-Mushawwir adalah Dzat yang memberi bentuk rupa pada ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Seluruh proses penciptaan alam semesta, dari atom hingga manusia, adalah perwujudan dari kehendak-Nya untuk menciptakan. Wajah kita yang berbeda-beda, sidik jari yang unik, dan keragaman hayati yang luar biasa adalah bukti nyata bahwa kehendak-Nya dalam membentuk dan memberi rupa tidak terbatas. Merenungkan nama-nama ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa keberadaan kita sendiri adalah buah dari kehendak-Nya yang agung.
Antara Kehendak Ilahi dan Ikhtiar Manusiawi
Salah satu perdebatan teologis paling klasik dalam sejarah pemikiran Islam adalah tentang hubungan antara kehendak mutlak Allah (takdir) dan kehendak bebas manusia (ikhtiar). Jika Allah Maha Berkehendak dan telah menetapkan segalanya, di manakah letak tanggung jawab manusia? Mengapa ada surga dan neraka jika semua sudah ditentukan? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali muncul dari pemahaman yang kurang utuh.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menawarkan sebuah pandangan jalan tengah yang harmonis, yang bersumber langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah. Pandangan ini menegaskan dua kebenaran secara bersamaan tanpa menafikan salah satunya:
- Kehendak Allah bersifat mutlak dan meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di luar kehendak dan sepengetahuan-Nya.
- Manusia memiliki kehendak, pilihan, dan kemampuan untuk berbuat, dan atas dasar itulah ia akan dimintai pertanggungjawaban.
Bagaimana kedua hal ini bisa berjalan beriringan? Kuncinya adalah memahami bahwa kehendak manusia beroperasi di dalam lingkup kehendak Allah yang lebih besar. Allah, dengan ilmu-Nya yang azali, telah mengetahui pilihan apa yang akan diambil oleh hamba-Nya, lalu Dia mencatatnya dan berkehendak agar pilihan itu terjadi. Namun, Allah tidak memaksa hamba-Nya untuk memilih jalan tersebut. Manusia tetap merasakan secara nyata bahwa ia memiliki kebebasan untuk memilih antara pergi ke masjid atau ke tempat maksiat, antara berkata jujur atau berdusta, antara menolong atau mengabaikan.
Al-Qur'an sendiri menyajikan kedua realitas ini secara berdampingan. Di satu sisi, Allah berfirman:
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir: 29)
Ayat ini menegaskan supremasi kehendak Allah. Namun, di sisi lain, Allah juga berfirman:
"Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya." (QS. An-Naba': 39)
Ayat ini jelas menetapkan adanya kehendak pada diri manusia untuk memilih. Gabungan dari kedua ayat ini menunjukkan bahwa kehendak kita ada dan nyata, namun ia tidak akan bisa terwujud kecuali dengan izin dan kehendak Allah.
Analogi sederhana yang sering digunakan adalah seperti seorang guru yang sangat mengenal murid-muridnya. Berdasarkan pengetahuannya yang mendalam tentang karakter, kemampuan, dan kebiasaan setiap murid, sang guru dapat memprediksi dengan akurat: "Murid A akan lulus dengan cemerlang, sementara Murid B kemungkinan besar akan gagal karena kemalasannya." Ketika di akhir ujian prediksi guru itu terbukti benar, apakah itu berarti sang guru telah memaksa Murid B untuk menjadi malas dan gagal? Tentu tidak. Murid B gagal karena pilihannya sendiri untuk tidak belajar. Pengetahuan guru hanya mencatat realitas, tidak menyebabkannya.
Tentu saja, perumpamaan ini sangat terbatas, karena ilmu Allah tidak bisa dibandingkan dengan ilmu makhluk. Ilmu Allah adalah sebab, sedangkan ilmu makhluk adalah akibat. Namun, analogi ini membantu kita memahami bahwa pengetahuan dan ketetapan Allah tidak menafikan adanya pilihan dan usaha dari hamba.
Oleh karena itu, sikap seorang muslim adalah:
- Pada Perintah dan Larangan: Ia fokus pada ikhtiarnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia diperintahkan untuk shalat, puasa, dan berakhlak mulia. Ia memiliki pilihan untuk melakukannya dan akan diganjar pahala. Ia juga memiliki pilihan untuk meninggalkannya dan akan mendapat dosa. Ia tidak boleh menyalahkan takdir atas kemaksiatan yang ia lakukan.
- Pada Musibah dan Takdir: Ia fokus pada kehendak Allah. Ketika sesuatu yang tidak disukai terjadi, seperti sakit, kehilangan, atau kegagalan setelah berusaha maksimal, ia menyandarkan semua itu pada kehendak, ilmu, dan hikmah Allah. Di sinilah ia bersabar, ridha, dan mengambil pelajaran.
Keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal inilah yang menjadi rahasia kekuatan mental seorang mukmin. Ia berusaha sekuat tenaga seolah-olah segalanya bergantung pada usahanya, lalu ia berserah diri sepenuhnya seolah-olah segalanya bergantung pada takdir Allah.
Buah Manis Iman kepada Kehendak Allah
Mematrikan keyakinan bahwa Allah Maha Berkehendak dalam sanubari bukanlah sekadar latihan intelektual. Ia adalah sebuah proses spiritual yang akan melahirkan buah-buah manis dalam setiap aspek kehidupan seorang hamba. Iman ini adalah obat bagi banyak penyakit hati dan sumber bagi berbagai kebaikan jiwa. Berikut adalah beberapa buah terindah yang dapat dipetik dari pohon keimanan ini.
1. Ketenangan Jiwa yang Hakiki (Sakinah)
Dunia modern adalah ladang subur bagi kecemasan, stres, dan ketakutan akan masa depan. Manusia cemas akan karier, rezeki, kesehatan, dan berbagai ketidakpastian lainnya. Iman kepada kehendak Allah adalah penawar paling mujarab untuk semua ini. Ketika seorang hamba benar-benar yakin bahwa tidak ada satu pun daun yang jatuh kecuali atas izin dan kehendak-Nya, dan bahwa rezekinya telah dijamin sejak dalam kandungan, maka hatinya akan dipenuhi ketenangan. Ia menyadari bahwa tugasnya hanyalah berusaha sesuai dengan koridor syariat (Iradah Syar'iyyah), sementara hasilnya sepenuhnya berada dalam genggaman Kehendak-Nya (Iradah Kauniyah). Ia tidak lagi tersiksa oleh penyesalan berlebihan atas masa lalu ("Seandainya dulu aku begini...") atau kekhawatiran akut akan masa depan ("Bagaimana jika nanti..."). Ia hidup di saat ini, melakukan yang terbaik, dan menyerahkan sisanya kepada Dzat Yang Maha Mengatur.
2. Kekuatan dan Ketegaran dalam Menghadapi Musibah
Musibah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Namun, respons manusia terhadapnya sangat beragam. Ada yang hancur, putus asa, bahkan menyalahkan Tuhan. Ada pula yang tetap tegar, sabar, dan bahkan menemukan kebaikan di balik ujian tersebut. Perbedaan fundamental terletak pada tingkat keimanan kepada takdir dan kehendak Allah. Seorang mukmin yang kokoh imannya memandang musibah bukan sebagai hukuman yang kejam, melainkan sebagai bagian dari skenario agung dari Dzat Yang Maha Bijaksana (Al-Hakiim) dan Maha Mengetahui (Al-'Aliim). Ia ingat sabda Rasulullah ﷺ bahwa semua urusan seorang mukmin itu baik; jika mendapat nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya, dan jika ditimpa musibah ia bersabar dan itu pun baik baginya. Keyakinan ini memberinya kekuatan untuk bangkit kembali, karena ia tahu bahwa di balik setiap kesulitan yang dikehendaki Allah, pasti ada kemudahan yang juga telah Dia siapkan.
3. Sumber Rasa Syukur yang Tak Pernah Kering
Ketika kita menyadari bahwa setiap nikmat yang kita terima—setiap tarikan napas, setiap teguk air, setiap senyuman dari orang terkasih, setiap keberhasilan yang kita raih—adalah murni karena kehendak dan karunia Allah, maka hati kita akan meluap dengan rasa syukur. Kita akan terhindar dari penyakit hati yang merasa bahwa semua itu adalah hasil jerih payah kita semata. Keberhasilan kita dalam studi atau bisnis, misalnya, tidak hanya karena kecerdasan atau kerja keras kita, tetapi karena Allah berkehendak memberikan taufik, kesehatan, kesempatan, dan kondisi yang mendukung. Kesadaran ini membuat nikmat sekecil apapun terasa besar dan menjadikan lisan serta hati kita senantiasa basah dengan pujian kepada-Nya.
4. Perisai dari Sifat Sombong dan Angkuh
Kesombongan seringkali lahir dari anggapan bahwa kesuksesan adalah buah dari kehebatan diri sendiri. Orang yang memahami bahwa Allah Maha Berkehendak akan selalu rendah hati. Ketika ia meraih pencapaian besar, ia akan mengembalikannya kepada Allah. Ia sadar bahwa jika bukan karena kehendak Allah, segala usaha dan kepintarannya tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya, ketika ia melihat orang lain berbuat dosa atau mengalami kegagalan, ia tidak akan merasa lebih baik atau merendahkannya. Ia sadar bahwa ia sendiri bisa berada di posisi itu jika Allah berkehendak lain. Sikap ini menumbuhkan empati, kasih sayang, dan tawadhu' yang mendalam.
5. Keberanian dan Optimisme dalam Bertindak
Anehnya, keyakinan pada takdir seringkali dituduh sebagai penyebab kemalasan dan kepasrahan buta (fatalisme). Padahal, jika dipahami dengan benar, ia justru menjadi sumber keberanian yang luar biasa. Seorang yang yakin bahwa ajal dan rezekinya telah ditetapkan tidak akan takut untuk mengambil risiko yang benar di jalan Allah. Ia tidak akan takut kehilangan "jatah" rezekinya karena menjauhi yang haram. Ia akan berani menyuarakan kebenaran karena ia tahu tidak ada yang bisa membahayakannya kecuali dengan izin Allah. Iman ini membebaskan manusia dari belenggu ketakutan kepada selain Allah, dan mendorongnya untuk menjadi proaktif, kreatif, dan optimis dalam menjalani kehidupan, karena ia percaya pada pertolongan Dzat Yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.
Penutup: Menyelami Samudera Kehendak-Nya
Memahami bahwa Allah Maha Berkehendak adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Ia adalah sebuah keyakinan yang mengakar di hati, membimbing akal, dan termanifestasi dalam setiap tindakan. Kita telah melihat bagaimana kehendak-Nya terbagi menjadi Iradah Kauniyah yang pasti terjadi dan Iradah Syar'iyyah yang Dia cintai. Kita juga telah merenungkan bagaimana kehendak-Nya ini tidak berdiri sendiri, melainkan dihiasi oleh kesempurnaan ilmu-Nya (Al-'Aliim), kebijaksanaan-Nya (Al-Hakiim), dan kekuasaan-Nya (Al-Qadiir).
Keyakinan ini menempatkan kita pada posisi yang seimbang: menjadi hamba yang giat berikhtiar untuk menggapai apa yang Allah cintai, sekaligus menjadi hamba yang ridha dan pasrah pada setiap ketetapan-Nya yang terjadi. Inilah puncak dari penghambaan, di mana kita mengerahkan seluruh potensi yang Allah berikan, lalu menyerahkan hasilnya dengan penuh keyakinan kepada-Nya. Dalam perjalanan ini, hati akan menemukan pelabuhan teramannya, jiwa akan merasakan ketenangan terdalamnya, dan hidup akan terasa lebih bermakna.
Semoga Allah membimbing kita untuk senantiasa memahami keagungan kehendak-Nya, melapangkan dada kita untuk menerima setiap takdir-Nya, dan memberikan kekuatan kepada kita untuk selalu berjalan di atas jalan yang diridhai-Nya. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukanlah saat kehendak kita terwujud, melainkan saat hati kita mampu ridha dan berselaras dengan kehendak-Nya.