Membedah Asas-Asas Fundamental Perkawinan
Perkawinan sebagai ikatan luhur yang ditopang oleh pilar-pilar hukum dan moralitas.
Pendahuluan: Makna Fundamental Perkawinan
Perkawinan, sebagai institusi sosial tertua dan paling universal, memegang peranan krusial dalam struktur masyarakat. Ia bukan sekadar penyatuan dua individu, melainkan sebuah ikatan lahir batin yang melahirkan konsekuensi hukum, sosial, dan spiritual. Di Indonesia, konsepsi perkawinan diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Perkawinan. Landasan hukum ini tidak dibuat secara acak, melainkan dibangun di atas serangkaian prinsip dasar atau yang dikenal sebagai asas-asas perkawinan. Asas-asas ini berfungsi sebagai jiwa, filosofi, dan kerangka kerja yang menuntun pembentukan, pelaksanaan, dan pemeliharaan lembaga perkawinan. Memahami setiap asas ini secara mendalam adalah kunci untuk mengapresiasi bagaimana negara memandang dan melindungi ikatan suci ini.
Asas perkawinan merupakan fondasi yang memastikan bahwa setiap perkawinan yang dilangsungkan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, moralitas agama, dan norma-norma kemanusiaan yang adil. Prinsip-prinsip ini dirancang untuk melindungi hak dan martabat setiap individu yang terlibat, yaitu suami, istri, dan anak-anak yang akan lahir dari perkawinan tersebut. Lebih dari itu, asas-asas ini juga bertujuan untuk menciptakan ketertiban sosial dengan memberikan kepastian hukum, mencegah praktik-praktik yang merugikan, dan mengarahkan tujuan perkawinan pada pembentukan keluarga yang sejahtera, bahagia, dan kekal. Oleh karena itu, penelaahan terhadap asas-asas ini bukan hanya relevan bagi praktisi hukum, tetapi juga bagi setiap warga negara yang akan atau telah memasuki gerbang pernikahan.
1. Asas Monogami sebagai Landasan Utama
Salah satu asas yang paling fundamental dan menjadi kaidah utama dalam hukum perkawinan di Indonesia adalah asas monogami. Asas ini secara tegas menyatakan bahwa pada dasarnya, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam satu waktu. Prinsip ini menjadi cerminan dari cita-cita luhur untuk membangun sebuah keluarga yang utuh, harmonis, dan terpusat, di mana kesetiaan dan komitmen menjadi pilar utamanya.
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Penegasan asas monogami ini bukan tanpa alasan. Secara sosiologis dan psikologis, ikatan monogami dianggap mampu menciptakan stabilitas emosional yang lebih kuat bagi pasangan serta memberikan lingkungan yang lebih kondusif untuk tumbuh kembang anak. Fokus perhatian, kasih sayang, dan sumber daya keluarga dapat tercurah secara penuh tanpa terbagi, sehingga potensi konflik internal dapat diminimalkan. Namun, hukum di Indonesia juga bersifat akomodatif terhadap realitas keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat.
Pengecualian yang Terbatas: Poligami Bersyarat
Meskipun monogami adalah prinsip utama, Undang-Undang Perkawinan memberikan ruang pengecualian yang sangat terbatas dan diatur dengan syarat yang ketat. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami) apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan memenuhi alasan-alasan serta syarat-syarat yang telah ditetapkan. Penting untuk digarisbawahi bahwa poligami bukanlah hak absolut, melainkan sebuah dispensasi yang harus melalui proses yudisial yang teliti.
Alasan-alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk mengajukan permohonan poligami bersifat kumulatif-alternatif, artinya salah satu dari kondisi berikut harus terpenuhi:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Ini bisa mencakup kondisi fisik atau psikis yang permanen sehingga menghalangi pelaksanaan tanggung jawab domestik dan relasional.
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kondisi ini harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang kompeten dan bersifat jangka panjang atau permanen.
- Istri tidak dapat memberikan keturunan. Setelah pasangan berusaha selama periode waktu yang wajar dan didukung oleh pemeriksaan medis, ketidakmampuan istri untuk hamil dapat menjadi dasar pengajuan.
Selain harus memenuhi salah satu alasan di atas, seorang suami yang hendak berpoligami juga wajib memenuhi syarat-syarat kumulatif berikut:
- Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri sebelumnya. Persetujuan ini harus diberikan secara sadar, tanpa paksaan, dan idealnya dinyatakan secara tertulis atau lisan di hadapan pengadilan. Ini adalah bentuk perlindungan terhadap hak istri yang sudah ada.
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Kemampuan ini tidak hanya diukur dari aspek materi atau finansial, tetapi juga mencakup kemampuan memberikan waktu, perhatian, dan pendidikan. Suami harus membuktikan kemapanan ekonominya, misalnya dengan slip gaji atau bukti kepemilikan aset.
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Keadilan di sini mencakup keadilan dalam hal materi (nafkah, tempat tinggal) dan immateri (kasih sayang, perhatian, waktu). Meskipun keadilan immateri sangat sulit diukur, suami harus meyakinkan hakim bahwa ia memiliki komitmen dan kemampuan untuk bersikap adil.
Prosedur pengajuan izin poligami dilakukan di Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang non-Islam. Proses ini melibatkan pemeriksaan saksi, bukti, dan mendengarkan keterangan dari istri yang bersangkutan untuk memastikan semua syarat terpenuhi. Dengan adanya persyaratan yang berlapis dan ketat ini, negara pada hakikatnya tetap menjunjung tinggi asas monogami dan memandang poligami sebagai sebuah pengecualian luar biasa (ultimum remedium) yang hanya dapat ditempuh dalam kondisi-kondisi yang sangat spesifik dan terkontrol.
2. Asas Tujuan Perkawinan: Membentuk Keluarga Bahagia dan Kekal
Perkawinan dalam pandangan hukum Indonesia bukanlah sekadar kontrak perdata untuk melegalkan hubungan. Ia memiliki tujuan yang jauh lebih luhur dan mendalam, yang dirumuskan secara eksplisit dalam undang-undang. Asas ini menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah "membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Rumusan ini mengandung tiga elemen kunci yang menjadi kompas bagi setiap pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Elemen "Bahagia dan Kekal"
Frasa "bahagia dan kekal" merupakan tujuan ideal yang harus diupayakan secara terus-menerus. "Bahagia" merujuk pada kesejahteraan subjektif, baik secara lahiriah maupun batiniah. Kebahagiaan lahiriah mencakup terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Sementara itu, kebahagiaan batiniah berkaitan dengan adanya ketenteraman jiwa, kasih sayang, saling pengertian, hormat-menghormati, dan kesetiaan antara suami dan istri. Kebahagiaan bukanlah kondisi statis, melainkan sebuah proses dinamis yang dibangun bersama melalui komunikasi yang efektif, kerja sama, dan kemampuan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
"Kekal" menggarisbawahi sifat perkawinan yang pada prinsipnya dimaksudkan untuk berlangsung seumur hidup. Prinsip ini mengandung makna bahwa perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan niat untuk sementara waktu. Cita-cita keabadian ini mendorong pasangan untuk memiliki komitmen yang tinggi dalam menjaga keutuhan rumah tangga mereka, bahkan ketika dihadapkan pada tantangan dan kesulitan. Konsekuensi dari asas ini adalah perceraian dipandang sebagai jalan terakhir yang sebisa mungkin dihindari.
Elemen "Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"
Elemen ini menegaskan bahwa perkawinan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai spiritual dan religius. Pernikahan dianggap sebagai ibadah dan perbuatan suci yang tidak hanya mengikat dua manusia, tetapi juga merupakan perjanjian luhur di hadapan Tuhan. Dengan landasan ini, setiap pasangan diharapkan menjalankan hak dan kewajibannya tidak hanya karena tuntutan hukum positif, tetapi juga karena kesadaran moral dan tanggung jawab spiritual. Nilai-nilai agama menjadi pedoman dalam membina keluarga, mendidik anak, dan menyelesaikan persoalan. Ini juga yang mendasari ketentuan bahwa perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya terlebih dahulu sebelum dicatatkan oleh negara.
Asas tujuan perkawinan ini berfungsi sebagai pengingat konstan bagi pasangan suami istri akan visi besar dari pernikahan mereka. Ketika konflik muncul atau kesulitan menghadang, asas ini mengajak mereka untuk kembali merenungkan tujuan awal mereka, yaitu membangun sebuah bahtera yang tidak hanya berlayar menuju kebahagiaan duniawi, tetapi juga berlabuh dalam nilai-nilai ketuhanan yang abadi.
3. Asas Persetujuan Bebas Kedua Calon Mempelai
Salah satu pilar demokrasi dalam ranah privat adalah kebebasan individu untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Asas persetujuan bebas kedua calon mempelai adalah manifestasi dari prinsip hak asasi manusia ini dalam hukum perkawinan. Asas ini menegaskan bahwa suatu perkawinan harus didasarkan pada kemauan yang bebas dan tulus dari kedua belah pihak, yaitu calon suami dan calon istri, tanpa adanya paksaan, tekanan, atau ancaman dari pihak manapun, termasuk dari orang tua atau keluarga.
Prinsip ini secara fundamental menolak segala bentuk perkawinan paksa atau kawin paksa yang melanggar martabat dan otonomi individu. Kehendak bebas ini adalah syarat mutlak bagi sahnya sebuah perkawinan dari sisi esensinya. Jika terbukti bahwa salah satu pihak menikah di bawah paksaan atau ancaman yang melanggar hukum, maka pihak tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke pengadilan. Ini menunjukkan betapa seriusnya negara memandang elemen "consent" atau persetujuan dalam sebuah ikatan pernikahan.
Persetujuan ini tidak hanya bersifat pasif (tidak menolak), melainkan harus bersifat aktif dan dinyatakan secara jelas. Dalam praktiknya, persetujuan ini diwujudkan melalui beberapa tahapan. Pertama, pada saat pendaftaran kehendak nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil, kedua calon mempelai harus hadir dan menandatangani formulir persetujuan. Kedua, pada saat upacara akad nikah atau pemberkatan, adanya ijab (penawaran dari wali/mempelai wanita) dan qabul (penerimaan dari mempelai pria) dalam pernikahan Islam, atau janji nikah yang diucapkan di hadapan pemuka agama dan jemaat bagi agama lain, merupakan bentuk verbalisasi dari persetujuan bebas tersebut.
Asas ini juga memiliki implikasi penting dalam melawan praktik perjodohan yang tidak dikehendaki. Meskipun peran orang tua dalam memberikan nasihat dan restu tetap dihargai dalam budaya Indonesia, keputusan akhir untuk menikah harus tetap berada di tangan individu yang akan menjalaninya. Restu orang tua memang menjadi salah satu syarat administratif, namun jika terjadi penolakan tanpa dasar yang sah, calon mempelai dapat meminta putusan pengadilan sebagai pengganti izin orang tua. Ini adalah mekanisme hukum yang melindungi hak individu untuk menikah berdasarkan pilihannya sendiri, selama pilihan tersebut tidak melanggar ketentuan hukum lainnya. Dengan demikian, asas persetujuan bebas ini menempatkan perkawinan sebagai sebuah kemitraan yang dimulai dari fondasi kejujuran, ketulusan, dan kehendak yang merdeka.
4. Asas Batas Usia Minimal untuk Menikah
Negara memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa setiap warganya yang memasuki jenjang perkawinan telah memiliki kematangan yang cukup, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Untuk mewujudkan hal ini, ditetapkanlah asas batas usia minimal untuk menikah. Asas ini bertujuan untuk mencegah perkawinan anak, yang membawa berbagai dampak negatif seperti masalah kesehatan reproduksi, tingginya angka kematian ibu dan bayi, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan antargenerasi.
Melalui revisi Undang-Undang Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah kini disamakan bagi pria dan wanita, yaitu 19 tahun. Penyetaraan usia ini merupakan langkah progresif yang didasarkan pada prinsip kesetaraan gender dan pengakuan bahwa baik pria maupun wanita memerlukan tingkat kedewasaan yang setara untuk memikul tanggung jawab rumah tangga. Usia 19 tahun dianggap sebagai batas di mana seseorang secara umum telah menyelesaikan pendidikan menengah atas dan memiliki kesiapan psikologis yang lebih baik untuk menghadapi kompleksitas kehidupan berumah tangga.
Penetapan batas usia ini memiliki beberapa rasionalitas yang kuat:
- Kesiapan Biologis dan Kesehatan: Dari sisi kesehatan, menikah di atas usia 19 tahun mengurangi risiko komplikasi saat kehamilan dan persalinan bagi wanita. Organ reproduksi dianggap telah matang sempurna, sehingga lebih siap untuk mengandung dan melahirkan.
- Kematangan Psikologis dan Emosional: Usia 19 tahun menandai transisi dari masa remaja ke dewasa awal. Pada tahap ini, individu diharapkan telah mengembangkan kemampuan mengelola emosi, menyelesaikan konflik, dan membuat keputusan yang lebih rasionalāketerampilan yang sangat vital dalam perkawinan.
- Kesiapan Ekonomi dan Pendidikan: Dengan menunda perkawinan hingga usia minimal 19 tahun, generasi muda memiliki kesempatan lebih besar untuk menyelesaikan pendidikan dan mempersiapkan diri memasuki dunia kerja. Hal ini akan berkontribusi pada kemandirian ekonomi keluarga di masa depan.
- Pemenuhan Hak Anak: Asas ini merupakan instrumen hukum utama untuk melindungi hak-hak anak, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk bermain, dan hak untuk tumbuh kembang secara optimal tanpa dibebani tanggung jawab orang dewasa sebelum waktunya.
Dispensasi Kawin sebagai Pengecualian Ketat
Meskipun batas usia 19 tahun adalah aturan utama, undang-undang masih membuka kemungkinan adanya dispensasi bagi calon mempelai yang belum mencapai usia tersebut. Dispensasi ini hanya dapat diberikan oleh pengadilan setelah melalui proses pemeriksaan yang cermat dan hanya jika terdapat "alasan yang sangat mendesak" yang disertai dengan bukti-bukti pendukung yang cukup kuat.
Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh orang tua atau wali dari pihak yang belum cukup umur ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Hakim akan memeriksa perkara ini dengan sangat hati-hati. Hakim wajib mendengarkan keterangan dari kedua calon mempelai, orang tua mereka, dan jika perlu, melibatkan psikolog atau pekerja sosial untuk menilai tingkat kematangan dan kesiapan anak. Alasan mendesak yang sering diajukan misalnya kehamilan di luar nikah. Namun, hakim tetap memiliki kewenangan penuh untuk menolak permohonan jika dianggap bahwa perkawinan tersebut akan membawa lebih banyak mudarat daripada maslahat bagi masa depan anak. Proses yang ketat ini menegaskan bahwa dispensasi bukanlah kemudahan, melainkan pintu darurat yang hanya bisa dibuka dalam situasi yang benar-benar luar biasa.
5. Asas Pencatatan Perkawinan: Kepastian Hukum dan Perlindungan
Sebuah perkawinan yang telah sah menurut hukum agama atau kepercayaan saja belum cukup untuk diakui secara penuh oleh negara. Di sinilah letak pentingnya asas pencatatan perkawinan. Asas ini menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan ini bukanlah sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah tindakan hukum yang krusial untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi suami, istri, dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan yang beragama Islam, dan oleh Pejabat Pencatat Sipil di Kantor Catatan Sipil bagi pasangan non-Islam. Setelah dicatat, pasangan akan menerima bukti otentik berupa Akta Nikah atau Kutipan Akta Perkawinan. Dokumen ini adalah bukti sah di mata hukum negara bahwa perkawinan telah terjadi.
Konsekuensi dari tidak dicatatkannya perkawinan (sering disebut nikah siri atau nikah di bawah tangan) sangatlah besar dan merugikan, terutama bagi pihak perempuan dan anak. Tanpa bukti pencatatan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada oleh negara. Akibatnya:
- Status Hukum yang Lemah: Istri tidak memiliki hak hukum atas nafkah, warisan, atau harta bersama jika terjadi perceraian atau jika suami meninggal dunia. Ia tidak dapat menuntut hak-haknya di pengadilan karena perkawinannya tidak diakui.
- Status Anak: Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ia tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, yang berarti ia tidak berhak atas nafkah, warisan, atau menggunakan nama keluarga ayahnya secara hukum. Proses pembuatan akta kelahiran pun akan menjadi rumit.
- Kesulitan Administratif: Pasangan akan menghadapi kesulitan dalam berbagai urusan administrasi kenegaraan, seperti pembuatan Kartu Keluarga (KK), pengurusan tunjangan keluarga bagi PNS/TNI/Polri, klaim asuransi, hingga pengurusan paspor atau visa yang memerlukan bukti perkawinan.
Dengan demikian, asas pencatatan perkawinan memiliki fungsi vital sebagai benteng perlindungan hukum. Ia mengubah status hubungan personal menjadi hubungan hukum yang diakui dan dilindungi negara. Asas ini memastikan bahwa setiap hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan dapat ditunaikan dan dituntut secara legal, sehingga menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.
Asas-Asas Pelengkap Lainnya
Selain kelima asas utama di atas, terdapat beberapa asas lain yang turut memperkuat bangunan hukum perkawinan di Indonesia, yang seringkali tersirat dalam berbagai pasal undang-undang.
Asas Mempersulit Terjadinya Perceraian
Sejalan dengan asas tujuan perkawinan yang kekal, hukum perkawinan di Indonesia menganut asas untuk mempersulit terjadinya perceraian. Ini bukan berarti perceraian dilarang, tetapi prosesnya dibuat tidak mudah dan harus melalui prosedur peradilan. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak. Selain itu, perceraian hanya dapat dikabulkan jika ada alasan-alasan yang sah dan kuat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut, atau terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus. Dengan adanya prosedur yang terstruktur dan alasan yang terbatas ini, pasangan didorong untuk berpikir ulang dan mencari solusi damai sebelum memutuskan untuk mengakhiri ikatan perkawinan.
Asas Kemitraan dan Kesetaraan Suami Istri
Hukum perkawinan modern memandang hubungan suami istri sebagai sebuah kemitraan yang setara. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, namun pembagian peran ini harus didasarkan pada musyawarah dan saling pengertian, bukan superioritas satu pihak atas pihak lain. Prinsip kesetaraan ini juga tercermin dalam kepemilikan harta bersama (gono-gini), di mana suami dan istri memiliki hak yang sama atas harta yang diperoleh selama perkawinan.
Kesimpulan: Pilar Penopang Keutuhan Keluarga dan Masyarakat
Asas-asas perkawinan yang tertuang dalam sistem hukum Indonesia bukanlah sekadar rumusan teoretis. Mereka adalah pilar-pilar fundamental yang menopang salah satu institusi terpenting dalam masyarakat. Dari asas monogami yang mengedepankan kesetiaan, asas tujuan luhur yang mengarahkan pada kebahagiaan hakiki, hingga asas pencatatan yang memberikan kepastian hukum, semuanya dirancang untuk satu tujuan besar: melindungi martabat individu, menjaga keutuhan keluarga, dan membangun tatanan sosial yang tertib dan beradab.
Memahami dan menginternalisasi asas-asas ini memberikan kita perspektif yang lebih dalam tentang makna sebuah perkawinan. Ia adalah sebuah perjalanan yang tidak hanya didasarkan pada cinta dan perasaan, tetapi juga pada komitmen sadar untuk tunduk pada prinsip-prinsip hukum dan moral yang telah disepakati bersama sebagai bangsa. Dengan berpegang teguh pada asas-asas ini, diharapkan setiap perkawinan dapat menjadi wahana untuk mencapai kebahagiaan sejati, melahirkan generasi penerus yang berkualitas, dan pada akhirnya, berkontribusi pada kekuatan dan ketahanan bangsa secara keseluruhan.