Arisan, baik dalam bentuk uang maupun barang, telah menjadi tradisi sosial dan ekonomi yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia. Kegiatan ini pada dasarnya adalah bentuk tolong-menolong yang terstruktur. Namun, ketika melibatkan objek riil seperti barang elektronik, perabotan rumah tangga, atau bahkan kendaraan, muncullah kompleksitas hukum Islam yang perlu dikaji secara mendalam. Dalam konteks ini, rujukan pada pandangan ulama kontemporer seperti yang sering diulas melalui laman Rumaysho (sebuah media dakwah berbasis kajian sunnah) menjadi penting untuk memahami batasan syariat.
Arisan barang berbeda signifikan dengan arisan uang. Dalam arisan uang, anggota menyetor sejumlah uang secara berkala, dan pada setiap periode, satu orang mendapatkan seluruh uang yang terkumpul (sistem pinjam-meminjam tanpa bunga atau undian murni). Sebaliknya, arisan barang melibatkan penentuan barang spesifik yang akan diterima oleh pemenang undian. Misalnya, sepuluh orang mengumpulkan uang selama sepuluh bulan, dan setiap bulan, satu orang berhak membawa pulang satu unit barang yang telah disepakati, seperti sepeda motor atau ponsel terbaru.
Mayoritas ulama kontemporer, termasuk yang menjadi rujukan dalam artikel-artikel di situs Rumaysho, cenderung melihat arisan dari dua sisi: sisi akad sosial dan sisi akad muamalah yang berpotensi mengandung riba atau gharar (ketidakjelasan). Arisan yang murni bersifat ta'awun (tolong-menolong) dan tidak ada unsur keuntungan (riba) umumnya diperbolehkan. Namun, arisan barang seringkali bersinggungan dengan masalah penentuan objek dan waktu penerimaan.
Jika arisan barang dilakukan dengan sistem di mana semua anggota membayar harga barang tersebut secara dicicil, namun barangnya baru diterima oleh pemenang undian di akhir (atau di awal), maka hal ini harus dianalisis lebih lanjut. Para ulama menyoroti apakah praktik ini masuk dalam kategori jual beli bertempo (bai' bi al-taqsit) ataukah mengandung unsur gharar karena nilai barang bisa berbeda saat jatuh tempo.
Menurut pandangan yang diusung oleh para pengkaji fikih kontemporer, salah satu risiko terbesar dalam arisan barang adalah gharar. Gharar timbul karena ketidakpastian yang signifikan. Jika sistem yang digunakan adalah semua orang membayar sejumlah uang, dan pada giliran tertentu, salah satu anggota mendapatkan barang tersebut padahal ia belum lunas membayar penuh, maka terjadi ketidakpastian mengenai status kepemilikan uang yang disetorkan versus nilai barang yang diterima.
Sebagai contoh, dalam arisan barang dengan 10 orang, jika barang bernilai Rp 5 juta. Jika peserta ke-10 baru membayar 9 kali cicilan (90% dari total), namun ia sudah menerima barangnya di awal karena giliran undiannya jatuh di awal, maka ada potensi ketidakadilan atau ketidakjelasan hukum karena ia menerima barang utuh sebelum menyelesaikan kewajiban pembayaran penuhnya, sementara yang lain menanggung risiko pembayaran untuk barang yang sudah dimiliki orang lain.
Ulama yang membolehkan arisan barang umumnya mensyaratkan bahwa arisan tersebut harus benar-benar bersih dari unsur riba dan gharar. Untuk membuatnya sah secara syariat, beberapa syarat ditetapkan, yang seringkali mengarah pada statusnya sebagai jual beli kredit (bai' bi al-taqsit), bukan sekadar undian sosial:
Banyak kajian yang merujuk pada Fatwa Lajnah Daimah atau pendapat ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (yang sering dikutip Rumaysho dalam konteks muamalah) yang sangat ketat terhadap transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan atau penundaan yang tidak jelas konsekuensinya. Jika arisan barang cenderung menutupi pinjaman berbunga terselubung atau ketidakpastian pengembalian nilai, maka statusnya akan menjadi haram.
Berdasarkan kajian hukum Islam yang sering diulas dalam sumber seperti Rumaysho, arisan barang memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibandingkan arisan uang. Arisan barang akan mendekati hukum haram jika mengandung unsur gharar yang jelas, terutama terkait penyerahan barang sebelum pelunasan penuh tanpa skema jual beli kredit yang terperinci dan adil.
Sebaiknya, umat Islam memilih bentuk transaksi yang lebih jelas dan terhindar dari potensi perselisihan, yaitu jual beli tunai atau pinjam meminjam murni (qardh) jika tujuannya adalah tolong-menolong, bukan arisan dengan objek yang kompleks. Jika suatu kegiatan arisan barang tidak dapat dipastikan sepenuhnya bebas dari riba dan gharar, maka meninggalkan kegiatan tersebut adalah jalan yang lebih aman (wara') sesuai prinsip kehati-hatian dalam syariat.
Konsultasi dengan ahli fikih yang kompeten mengenai skema spesifik arisan yang dijalankan sangat dianjurkan untuk memastikan keabsahan muamalah tersebut di mata syariat.