Ilustrasi Konsultasi Keagamaan
Pengantar Arisan Barang dalam Perspektif Islam
Arisan, baik dalam bentuk uang maupun barang, telah menjadi praktik sosial dan ekonomi yang sangat populer di tengah masyarakat Indonesia. Kegiatan ini melibatkan sekelompok orang yang sepakat untuk menyetorkan sejumlah uang atau barang secara berkala, kemudian hasilnya dibagikan kepada salah satu anggota secara bergilir melalui mekanisme undian. Dalam konteks arisan barang, anggotanya mengumpulkan dana untuk membeli sebuah barang tertentu (misalnya elektronik, perhiasan, atau perabotan rumah tangga) yang kemudian menjadi milik salah satu peserta secara bergantian.
Meskipun terlihat sebagai mekanisme berbagi risiko dan kebutuhan, praktik arisan tidak luput dari sorotan tinjauan hukum Islam. Perbedaan pendapat di kalangan ulama sering muncul, terutama ketika arisan dihadapkan pada konsep-konsep muamalah seperti utang piutang, jual beli, dan riba. Untuk mendapatkan pandangan yang lebih mendalam dan terperinci, merujuk pada kajian para ulama kontemporer seperti Ustadz Erwandi Tarmizi, M.A., menjadi relevan. Beliau dikenal sering memberikan tinjauan fikih praktis berdasarkan dalil-dalil syar'i.
Analisis Hukum Arisan Barang Menurut Ustadz Erwandi
Ustadz Erwandi Tarmizi dalam berbagai kajiannya kerap menekankan pentingnya membedah struktur akad yang terjadi dalam arisan. Menurut pandangan beliau, hukum arisan barang pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai gabungan dari beberapa akad, yang harus dipastikan keabsahannya agar terhindar dari unsur haram.
Dalam arisan barang, terdapat dua unsur utama yang diperhatikan: pertama, tabungan atau iuran wajib yang dibayarkan oleh setiap anggota; kedua, mekanisme serah terima barang yang didapatkan melalui undian. Jika arisan hanya sekadar mengumpulkan dana lalu barang dibeli bersama dan dibagi rata tanpa sistem undian atau penetapan urutan yang pasti, ini cenderung mendekati akad syirkah (perkongsian). Namun, jika melibatkan undian dan adanya kepastian kapan seseorang akan mendapatkan barang, kompleksitas hukumnya meningkat.
Poin krusial yang sering disoroti adalah apakah arisan barang tersebut mengandung unsur qardh (utang) atau bai' (jual beli) yang mengandung kelebihan (tambahan). Ustadz Erwandi sering berpegang pada kaidah bahwa jika dalam akad terdapat syarat yang menghasilkan keuntungan bagi salah satu pihak tanpa adanya imbalan yang setara (iwadh) yang sesuai syariat, maka hukumnya bisa menjadi bermasalah.
Perbedaan Arisan Barang dengan Arisan Uang
Secara umum, Ustadz Erwandi membedakan antara arisan uang dan arisan barang. Arisan uang seringkali dikaji lebih ketat karena berpotensi menyerupai praktik riba, terutama jika ada anggota yang memberikan "denda" atau "hadiah" kepada panitia atau anggota yang mengambil di awal tanpa ada kesepakatan yang jelas mengenai kompensasi jasa pengelolaan.
Sementara itu, arisan barang memiliki sedikit kelonggaran jika tujuan utamanya adalah membantu anggota mendapatkan aset secara kolektif. Keabsahan arisan barang sangat bergantung pada kondisi barang itu sendiri. Jika barang yang diundi adalah barang sejenis (misalnya, semua peserta mengincar ponsel merek dan tipe yang sama) dan nilainya sama, ini cenderung lebih aman karena fokusnya adalah kepemilikan aset, bukan keuntungan finansial dari uang yang diinvestasikan.
Namun, kehati-hatian tetap diperlukan. Jika nilai barang yang diperoleh pada giliran pertama jauh lebih tinggi daripada nilai yang dibayarkan oleh anggota di giliran terakhir (karena inflasi atau perubahan harga), maka ini bisa dianggap sebagai riba nasi'ah (riba karena tempo) atau ketidakadilan dalam pertukaran. Oleh karena itu, Ustadz Erwandi menyarankan agar kesepakatan harga barang harus jelas dan tetap berdasarkan nilai tunai saat akad dilakukan, meskipun pembayarannya dicicil melalui iuran.
Prinsip Kehati-hatian dan Solusi Syar'i
Sikap paling aman (al-ahwath) menurut banyak ulama, termasuk yang dirujuk Ustadz Erwandi, adalah memastikan bahwa dalam arisan tidak ada unsur riba (kelebihan yang disyaratkan) dan gharar (ketidakjelasan yang berlebihan). Dalam arisan barang, hal ini berarti:
- Kesepakatan Bersama: Semua anggota harus benar-benar ridha dan memahami mekanisme pengundian serta kualitas barang yang akan didapatkan.
- Tidak Ada Keuntungan Tambahan: Iuran yang dibayarkan anggota harus sesuai dengan harga barang yang menjadi target perputaran, tanpa ada biaya administrasi yang signifikan yang diambil oleh panitia yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
- Jelasnya Barang: Barang yang diundi harus spesifik agar tidak terjadi sengketa nilai.
Kesimpulannya, arisan barang dapat dibolehkan (mubah) selama tujuannya murni kolektivitas untuk membantu anggota mendapatkan aset secara kolektif dan tidak dicampur dengan unsur spekulasi atau keuntungan yang diharamkan. Ustadz Erwandi selalu menekankan bahwa niat yang lurus dalam kegiatan sosial ekonomi harus sejalan dengan kaidah-kaidah syariat agar keberkahan senantiasa menyertai transaksi tersebut.