Dalam kajian filsafat Barat, pertanyaan mengenai hakikat kebahagiaan telah menjadi inti perdebatan selama ribuan tahun. Salah satu kontribusi paling berpengaruh datang dari filsuf Yunani kuno, Aristoteles. Bagi Aristoteles, kebahagiaan bukanlah sekadar emosi sesaat atau kesenangan hedonis, melainkan sebuah kondisi pencapaian tertinggi dalam hidup manusia yang ia sebut sebagai Eudaimonia.
Eudaimonia: Lebih dari Sekadar Perasaan Senang
Seringkali Eudaimonia diterjemahkan secara harfiah sebagai "kebahagiaan," namun terjemahan ini cenderung menyesatkan. Para filsuf modern sering menggunakan istilah "kebajikan hidup" atau "berkembang sepenuhnya" untuk menangkap esensi Eudaimonia. Aristoteles berargumen dalam karyanya, *Etika Nikomakea*, bahwa setiap aktivitas manusia diarahkan menuju suatu tujuan (telos). Jika semua tujuan memiliki tujuan yang lebih tinggi, maka harus ada satu tujuan akhir yang dikejar demi dirinya sendiri, dan tujuan itulah yang merupakan kebaikan tertinggi bagi manusia, yaitu Eudaimonia.
Ini berarti, kebahagiaan sejati menurut Aristoteles bukanlah tentang akumulasi kekayaan, kehormatan, atau kenikmatan inderawi. Semua itu adalah tujuan perantara. Eudaimonia adalah kondisi di mana manusia berfungsi sesuai dengan potensi terbaiknya sebagai makhluk rasional.
Fungsi Unik Manusia dan Kebajikan (Arete)
Untuk memahami apa itu Eudaimonia, kita harus memahami apa fungsi unik manusia. Aristoteles menyatakan bahwa fungsi yang membedakan manusia dari tumbuhan dan hewan adalah kemampuan untuk bernalar atau berpikir secara rasional. Oleh karena itu, kehidupan yang bahagia—Eudaimonia—adalah "aktivitas jiwa yang sesuai dengan kebajikan (arete), dan jika kebajikan itu jamak, maka sesuai dengan kebajikan yang paling utama dan paling sempurna."
Kebajikan (Arete) di sini bukan berarti kemurahan hati dalam pengertian modern, melainkan keunggulan atau kesempurnaan dalam melakukan fungsi spesifik. Aristoteles membagi kebajikan menjadi dua kategori utama:
- Kebajikan Intelektual (Dianoetic Virtues): Berkaitan dengan akal budi, seperti kebijaksanaan (phronesis) dan pengetahuan teoritis (sophia). Ini adalah kebajikan tertinggi karena melibatkan aktivitas berpikir murni.
- Kebajikan Moral (Ethical Virtues): Berkaitan dengan karakter dan perilaku dalam hubungan sosial, seperti keberanian, kedermawanan, dan keadilan. Kebajikan moral dicapai melalui kebiasaan dan latihan, menemukan jalan tengah (mean) antara dua ekstrem yang buruk (excess dan deficiency).
Jalan Tengah: Doktrin Mean Emas
Konsep jalan tengah atau "Golden Mean" adalah inti dari praktik kebajikan moral. Aristoteles percaya bahwa setiap kebajikan adalah titik tengah antara dua sifat ekstrem yang merupakan kekurangan atau kelebihan. Sebagai contoh, keberanian adalah jalan tengah antara sifat pengecut (kekurangan) dan sifat nekat (kelebihan).
Mencapai jalan tengah ini bukanlah sekadar aritmatika sederhana, tetapi membutuhkan Phronesis, yaitu kebijaksanaan praktis. Phronesis memungkinkan seseorang untuk menimbang situasi dan menentukan tindakan yang tepat pada waktu yang tepat, sesuai dengan tuntutan akal sehat. Tanpa akal dan kebajikan intelektual, seseorang tidak akan pernah tahu bagaimana menerapkan kebajikan moral secara efektif.
Eudaimonia Sebagai Kehidupan Sepenuhnya
Oleh karena itu, kebahagiaan menurut Aristoteles adalah pencapaian seumur hidup. Ini bukan hadiah yang diberikan setelah pencapaian, melainkan cara hidup itu sendiri—praktik berkelanjutan dalam menggunakan akal dan mengembangkan karakter yang unggul. Seseorang tidak bisa disebut bahagia hanya pada hari kematiannya karena ia telah melakukan satu tindakan baik; kebahagiaan memerlukan serangkaian tindakan kebajikan yang terstruktur sepanjang rentang waktu yang memadai.
Kondisi Eudaimonia juga memerlukan beberapa kondisi eksternal yang memadai, seperti kesehatan, teman yang baik, dan sumber daya materi yang cukup (walaupun tidak berlebihan). Namun, Aristoteles menegaskan bahwa faktor eksternal ini hanyalah alat pendukung; fondasi utama kebahagiaan tetap terletak pada aktivitas internal jiwa yang rasional dan berbudi luhur. Pada akhirnya, hidup yang bahagia adalah hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran, akal, dan keunggulan karakter.