Asas-Asas Perikatan dalam Hukum Indonesia

Ilustrasi: Simbol buku terbuka melambangkan pengetahuan hukum.

Dalam ranah hukum perdata, konsep perikatan menjadi fondasi utama yang mengatur hubungan antara subjek hukum dalam berbagai transaksi. Perikatan, atau yang sering disebut sebagai verbintenis dalam istilah Belanda, adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, di mana satu pihak berhak menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pemahaman mendalam mengenai asas-asas perikatan sangat krusial bagi siapa saja yang terlibat dalam kegiatan ekonomi, sosial, maupun personal.

Asas Kebebasan Berkontrak

Asas yang paling fundamental dalam hukum perikatan adalah asas kebebasan berkontrak. Asas ini tercermin dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, para pihak bebas untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Kebebasan ini mencakup beberapa aspek, yaitu: kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia akan membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian (lisan atau tertulis), serta kebebasan untuk mengubah atau mengakhiri perjanjian.

Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme menyatakan bahwa suatu perjanjian pada umumnya terbentuk sejak dicapainya kata sepakat (konsensus) antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian, meskipun hukum tidak menetapkan bentuk tertentu. Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat sahnya perjanjian, menekankan pentingnya "kesepakatan" sebagai syarat pertama. Ini berarti, untuk perjanjian-perjanjian yang tidak diwajibkan oleh undang-undang untuk dibuat dalam bentuk tertentu, sahnya perjanjian timbul hanya dari adanya kesepakatan.

Namun, perlu dicatat bahwa terdapat beberapa jenis perjanjian yang dikecualikan dari asas konsensualisme, yaitu perjanjian riil (yang baru sah setelah barang diserahkan, seperti penitipan atau pinjam pakai) dan perjanjian formal (yang memerlukan bentuk tertentu, seperti hibah tanah yang harus dilakukan dengan akta notaris).

Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda, yang berasal dari bahasa Latin, berarti "perjanjian harus ditepati". Asas ini merupakan kelanjutan logis dari asas kebebasan berkontrak. Jika para pihak bebas membuat perjanjian, maka mereka juga terikat untuk mematuhi apa yang telah mereka sepakati. Pasal 1340 KUH Perdata menegaskan kembali asas ini dengan menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya; perjanjian itu tidak dapat dipergunakan untuk atau terhadap pihak ketiga, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam undang-undang.

Asas ini memastikan kepastian hukum dan kepercayaan dalam hubungan kontraktual. Tanpa asas ini, perjanjian akan kehilangan kekuatannya dan pelaku usaha atau individu akan enggan untuk terlibat dalam transaksi.

Asas Itikad Baik

Asas itikad baik (good faith) mengharuskan para pihak dalam menjalankan perikatannya untuk bersikap jujur, terbuka, dan tidak saling menipu. Asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik ini harus ada sejak dimulainya pembentukan perjanjian hingga berakhirnya pelaksanaan perjanjian.

Penerapan asas itikad baik sangatlah luas. Dalam tahap pembentukan perjanjian, misalnya, itikad baik mengharuskan para pihak untuk menyampaikan informasi yang relevan dan tidak menyembunyikan fakta-fakta penting yang dapat memengaruhi keputusan pihak lain. Dalam tahap pelaksanaan, itikad baik menuntut para pihak untuk melakukan kewajiban mereka dengan semestinya dan tidak mencari-cari celah untuk menghindarinya.

Asas Keseimbangan

Meskipun asas kebebasan berkontrak memberikan ruang yang luas bagi para pihak, namun prinsip keseimbangan juga penting untuk menjaga agar tidak terjadi penindasan atau eksploitasi terhadap salah satu pihak. Dalam konteks hukum modern, asas keseimbangan ini seringkali diwujudkan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang membatasi kebebasan berkontrak, misalnya dalam perjanjian baku (standar kontrak) yang seringkali hanya memberikan sedikit ruang negosiasi bagi konsumen.

Ketidakseimbangan dapat terjadi jika salah satu pihak memiliki kedudukan yang jauh lebih kuat dibandingkan pihak lain. Dalam kasus seperti ini, hukum dapat campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah, demi tercapainya keadilan.

Memahami asas-asas perikatan ini tidak hanya penting bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi setiap individu dan badan usaha. Dengan berlandaskan pada asas-asas ini, hubungan hukum yang terjalin akan lebih tertib, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan, menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan masyarakat dan perekonomian.

🏠 Homepage