Visualisasi sederhana mengenai asas nasionalitas aktif dan pasif.
Dalam ranah hukum internasional dan hukum tata negara, konsep kewarganegaraan memegang peranan sentral. Kewarganegaraan bukan hanya sekadar status formal, tetapi juga merupakan ikatan hukum yang menciptakan hak dan kewajiban timbal balik antara individu dengan negara. Untuk menentukan siapakah yang berhak menyandang status kewarganegaraan suatu negara, terdapat berbagai asas yang diadopsi oleh setiap negara. Dua asas yang paling fundamental dan sering kali menjadi pijakan adalah asas nasionalitas aktif dan asas nasionalitas pasif.
Asas nasionalitas aktif, atau yang juga dikenal sebagai asas kewarganegaraan murni, merujuk pada prinsip bahwa kewarganegaraan diperoleh berdasarkan adanya kehendak dari individu itu sendiri. Dalam konteks ini, negara memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memilih kewarganegaraan yang diinginkannya, asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum negara tersebut. Penerapan asas ini sering kali terlihat dalam kasus-kasus di mana terdapat keraguan kewarganegaraan, misalnya bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran antara warga negara yang menganut asas berbeda, atau bagi individu yang memiliki hak untuk memilih kewarganegaraan orang tua mereka.
Proses pemilihan kewarganegaraan ini biasanya melibatkan deklarasi formal atau pernyataan kehendak yang disampaikan kepada pihak berwenang negara yang bersangkutan. Seseorang yang telah mencapai usia dewasa dan memiliki kapasitas hukum untuk menyatakan kehendaknya, dapat menggunakan hak ini untuk memilih menjadi warga negara suatu negara, meskipun ia mungkin telah lahir di negara lain atau memiliki orang tua dari kewarganegaraan berbeda. Asas ini memberikan penekanan pada otonomi individu dalam menentukan identitas kewarganegaraannya, sebuah pendekatan yang menghargai kebebasan dan pilihan pribadi.
Berbeda dengan asas aktif, asas nasionalitas pasif, atau yang sering disebut asas jus sanguinis (hak darah), menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya. Secara sederhana, jika seseorang lahir dari orang tua yang merupakan warga negara dari suatu negara, maka anak tersebut secara otomatis akan memperoleh kewarganegaraan dari negara orang tuanya, tanpa perlu adanya deklarasi kehendak dari si anak itu sendiri. Prinsip ini sangat umum diterapkan di banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Asas nasionalitas pasif memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, ia menciptakan kesinambungan kewarganegaraan dari generasi ke generasi, menjaga ikatan darah dan keturunan. Kedua, ia sering kali dianggap lebih mudah dalam penerapannya karena tidak memerlukan proses deklarasi atau pilihan yang kompleks. Namun, asas ini juga dapat menimbulkan tantangan, terutama bagi individu yang lahir dan dibesarkan di negara yang berbeda dari negara orang tuanya, di mana mereka mungkin merasa lebih terikat secara budaya dan sosial.
Dalam praktiknya, banyak negara tidak hanya mengandalkan satu asas tunggal. Sering kali, terdapat kombinasi dari berbagai asas yang diterapkan untuk mengakomodasi berbagai situasi. Misalnya, suatu negara mungkin menganut asas jus sanguinis sebagai prinsip utama, namun juga memiliki ketentuan yang memungkinkan kewarganegaraan diperoleh berdasarkan asas jus soli (hak tempat lahir), terutama bagi anak yang lahir di wilayah negara tersebut dan tidak memiliki kewarganegaraan lain (apatride).
Asas nasionalitas aktif dan pasif merupakan pilar penting dalam sistem hukum kewarganegaraan modern. Pemahaman yang mendalam tentang kedua asas ini krusial bagi para praktisi hukum, pembuat kebijakan, serta masyarakat umum untuk memahami bagaimana status kewarganegaraan seseorang ditentukan dan implikasinya. Dalam era globalisasi seperti sekarang, di mana mobilitas penduduk semakin tinggi, isu kewarganegaraan menjadi semakin kompleks. Terjadinya perpindahan penduduk lintas negara, perkawinan campuran, dan pengungsi, semuanya membutuhkan kerangka hukum yang jelas dan adil dalam menentukan kewarganegaraan.
Indonesia sendiri menganut asas ius sanguinis (nasionalitas pasif) sebagai asas utama. Namun, untuk menghindari terjadinya seseorang tanpa kewarganegaraan (apatride) atau memiliki kewarganegaraan ganda yang tidak diinginkan, Indonesia juga mengakui asas ius soli secara terbatas dan memberikan hak memilih bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran.
Meskipun asas nasionalitas aktif dan pasif telah lama diakui, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah harmonisasi hukum antarnegara terkait kewarganegaraan. Perbedaan dalam penerapan asas dapat menyebabkan fenomena kewarganegaraan ganda (bipatride) atau tanpa kewarganegaraan (apatride), yang keduanya menimbulkan berbagai persoalan hukum dan sosial. Upaya untuk menciptakan konvensi internasional yang dapat menyelaraskan prinsip-prinsip kewarganegaraan terus dilakukan oleh komunitas internasional.
Pada akhirnya, asas nasionalitas aktif dan pasif, bersama dengan asas-asas lainnya, berfungsi sebagai alat untuk menata struktur kewarganegaraan dalam suatu negara. Pemilihan dan penerapan asas-asas ini mencerminkan nilai-nilai dan prioritas suatu bangsa, serta bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum, menjaga integritas negara, dan melindungi hak-hak setiap individu sebagai warga negara.