Arisan, sebuah kegiatan sosial dan finansial yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia, seringkali menjadi subjek perdebatan dalam perspektif hukum Islam. Untuk memahami lebih dalam mengenai status hukum arisan, kita dapat merujuk pada pandangan ulama kontemporer, salah satunya adalah Buya Yahya, seorang pengasuh Pondok Pesantren Luruk Tebuireng yang dikenal dengan kajiannya yang aplikatif dan mudah dipahami.
Definisi Arisan dan Permasalahan Hukumnya
Secara harfiah, arisan adalah sistem pengumpulan dana secara berkala dari sekelompok orang di mana setiap anggota memberikan sejumlah uang yang sama pada setiap pertemuan, dan uang tersebut kemudian diberikan secara keseluruhan kepada salah satu anggota secara bergiliran. Secara umum, arisan memiliki dua unsur utama: unsur sosial (perkumpulan) dan unsur finansial (pemungutan dana).
Permasalahan utama yang sering muncul dalam pembahasan hukum arisan Buya Yahya adalah apakah praktik ini tergolong sebagai utang-piutang murni, jual beli, ataukah termasuk dalam ranah riba. Dalam Islam, segala bentuk transaksi harus jelas akadnya dan terhindar dari unsur yang diharamkan, terutama riba (bunga atau penambahan nilai yang tidak dibenarkan).
Pandangan Buya Yahya Mengenai Arisan Murni
Buya Yahya, dalam berbagai kajian dan fatwanya, cenderung membagi arisan menjadi dua kategori utama: arisan murni (tanpa unsur yang memberatkan) dan arisan yang mengandung unsur riba atau judi.
1. Arisan sebagai Hibah/Tabarru' (Bantuan Sosial)
Menurut Buya Yahya, jika arisan dilakukan antar anggota tanpa ada paksaan, dan tujuan utamanya adalah tolong-menolong atau gotong royong (bukan murni mencari keuntungan finansial), maka arisan tersebut pada dasarnya diperbolehkan. Dalam konteks ini, uang yang disetorkan oleh setiap orang dapat dipandang sebagai bentuk tabarru' (sumbangan sukarela) atau hibah yang diberikan secara berkala kepada anggota yang sedang mendapatkan giliran.
Yang menjadi kunci kehalalannya adalah tidak adanya tambahan imbalan yang dipersyaratkan. Setiap orang hanya mengembalikan uang yang ia terima sesuai jumlah setoran awalnya. Ketika seseorang menerima uang arisan, itu adalah haknya yang telah disepakati bersama, bukan hasil bunga.
2. Arisan yang Berpotensi Menjadi Riba
Namun, Buya Yahya sangat tegas dalam menyoroti praktik arisan yang melanggar syariat. Riba bisa muncul dalam dua bentuk utama dalam konteks arisan:
- Riba Al-Fadl (Kehabisan Nilai): Ini terjadi jika ada kesepakatan bahwa orang yang mengambil lebih awal harus membayar lebih banyak di akhir. Misalnya, jika saat giliran pertama ia hanya menyetor 1 juta, namun saat giliran terakhir ia harus menyetor 1.2 juta sebagai "denda" karena mengambil di awal. Ini jelas haram karena adanya penambahan nilai yang tidak sah.
- Riba An-Nasi'ah (Bunga Tersembunyi): Meskipun jarang terjadi pada arisan konvensional, riba bisa terjadi jika ada unsur utang yang dikaitkan dengan penundaan pembayaran pokok tanpa hak syar'i.
Buya Yahya menekankan bahwa jika terdapat klausul keuntungan bagi penyelenggara (admin fee yang berlebihan) atau ada unsur perjudian (seperti sistem undian di mana yang kalah terus membayar tanpa pernah mendapat hak), maka arisan tersebut batal kehalalannya.
Perbedaan dengan Judi dan Qimar
Banyak orang menyamakan arisan dengan judi (Qimar). Namun, hukum arisan Buya Yahya membedakan keduanya secara jelas. Judi adalah pertaruhan di mana ada pihak yang pasti rugi dan pihak yang pasti untung berdasarkan kebetulan semata (seperti lotre atau togel).
Pada arisan yang sah, setiap anggota dijamin akan mendapatkan uangnya kembali secara penuh sesuai jumlah setoran mereka, hanya saja waktunya berbeda-beda. Tidak ada anggota yang dirugikan secara permanen karena semua pasti menerima bagiannya. Ini yang menjadikannya berbeda dengan judi, di mana sebagian uang hilang tanpa kembali kepada pemiliknya.
Kesimpulan dan Saran Praktis
Inti dari pandangan Buya Yahya mengenai hukum arisan adalah kembali kepada niat dan mekanisme pelaksanaannya. Arisan yang sesuai syariat harus memenuhi kriteria berikut:
- Akadnya jelas (saling tolong-menolong).
- Tidak ada penambahan uang (riba) bagi yang mendapat giliran lebih awal maupun lebih akhir.
- Tidak ada unsur paksaan atau perjudian.
Jika arisan hanya sebatas mengumpulkan uang secara rutin dan membagikannya secara adil tanpa bunga, maka kegiatan tersebut diperbolehkan dalam Islam sebagai bentuk taawun (tolong-menolong). Namun, umat Islam dianjurkan untuk selalu berhati-hati dan memastikan tidak ada praktik transaksional tersembunyi yang menjurus pada riba atau unsur haram lainnya saat mengikuti kegiatan semacam ini.
Memahami panduan dari ulama seperti Buya Yahya membantu umat Muslim menavigasi praktik sosial ekonomi modern agar tetap berada dalam koridor syariat.